Berita

Pria Ini Berpendapat Kalau di Indonesia Itu Diskriminatif Banget Dalam Rekrutmen Kerja

Muhammad Fatich Nur Fadli 24 September 2024 | 15:53:06

Zona Mahasiswa - Isu diskriminasi dalam dunia kerja di Indonesia sudah lama menjadi topik perbincangan. Tidak sedikit orang yang merasakan dampak dari perlakuan tidak adil saat proses rekrutmen, mulai dari aspek fisik, gender, hingga usia yang menjadi tolak ukur yang tidak ada hubungannya dengan kompetensi atau kemampuan seseorang. 

Baca juga: Bjorka Kembali Beraksi! Data NPWP 6 Juta Pejabat Negara Bocor, Ada Nama Jokowi Hingga Sri Mulyani

Salah satu orang yang berpendapat mengenai isu ini adalah seorang pria yang menyuarakan bahwa proses rekrutmen di Indonesia itu sangat diskriminatif, dia membandingkannya dengan pengalaman kerjanya di Australia.

Dia merasa bahwa banyak perusahaan di Indonesia lebih mengutamakan hal-hal yang sifatnya superfisial atau permukaan ketimbang melihat skill, pengalaman, dan potensi seorang pelamar. 

Mari kita bahas lebih lanjut tentang apa saja bentuk diskriminasi yang sering muncul dalam proses rekrutmen di Indonesia dan bagaimana hal ini berdampak pada para pencari kerja.

1. Diskriminasi Berdasarkan Penampilan Fisik

Salah satu bentuk diskriminasi yang sering ditemukan dalam proses rekrutmen adalah diskriminasi fisik. Hal ini bisa berupa preferensi terhadap tinggi badan, berat badan, atau bahkan warna kulit. Beberapa iklan lowongan kerja dengan terang-terangan mencantumkan kriteria seperti "berpenampilan menarik" atau "berat badan proporsional", yang sebenarnya tidak selalu relevan dengan pekerjaan yang dilamar.

Pria ini berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan sering kali menempatkan penampilan sebagai salah satu faktor utama dalam memilih kandidat. Padahal, penampilan fisik tidak ada hubungannya dengan kompetensi seseorang dalam bekerja. Tidak jarang orang dengan potensi luar biasa tersingkir hanya karena tidak memenuhi standar kecantikan atau ketampanan yang subyektif.

Hal seperti ini juga membuat banyak pelamar kerja, terutama wanita, merasa tertekan untuk tampil sempurna secara fisik saat melamar pekerjaan. Tuntutan sosial terhadap penampilan ini tidak hanya diskriminatif, tetapi juga merugikan karena mengesampingkan orang-orang yang sebenarnya layak untuk dipertimbangkan.

2. Diskriminasi Berdasarkan Usia

Selain penampilan fisik, usia juga sering menjadi penghalang bagi banyak orang yang ingin melamar pekerjaan. Diskriminasi usia ini kerap terjadi di berbagai sektor pekerjaan. Banyak iklan lowongan kerja yang menyebutkan batasan usia yang sangat ketat, misalnya "maksimal usia 25 tahun" atau "maksimal 30 tahun".

Bagi pria ini, pembatasan usia dalam rekrutmen adalah bentuk diskriminasi yang sangat tidak adil. Usia tidak selalu mencerminkan kemampuan seseorang dalam bekerja. Bahkan, seseorang yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman yang lebih banyak, yang bisa menjadi aset berharga bagi perusahaan. Namun, banyak perusahaan di Indonesia yang cenderung lebih memilih pekerja muda karena dianggap lebih dinamis dan energik, padahal sering kali yang lebih tua memiliki keahlian yang lebih matang dan stabil secara emosional.

Diskriminasi usia ini menjadi masalah besar terutama bagi mereka yang berusia di atas 35 tahun dan sedang mencari pekerjaan baru. Meskipun memiliki pengalaman yang luas, mereka sering kali tidak diacuhkan hanya karena faktor usia.

3. Diskriminasi Gender

Diskriminasi gender juga menjadi salah satu masalah terbesar dalam rekrutmen kerja di Indonesia. Meskipun sudah ada undang-undang yang melarang diskriminasi gender, praktik ini masih sering terjadi secara terang-terangan. Misalnya, beberapa pekerjaan masih secara spesifik mencantumkan jenis kelamin tertentu sebagai kriteria, seperti "hanya menerima pria" atau "hanya menerima wanita". Hal ini sangat membatasi peluang bagi orang-orang yang sebenarnya memiliki kemampuan dan kualifikasi yang sesuai, tetapi terdiskriminasi hanya karena gender.

Pria ini juga menyebutkan bagaimana perempuan sering kali harus menghadapi tantangan ekstra dalam dunia kerja. Misalnya, perusahaan cenderung ragu-ragu mempekerjakan perempuan yang sudah menikah atau memiliki anak karena dianggap akan lebih sering absen atau tidak fokus pada pekerjaan. Di sisi lain, pria yang sudah menikah sering kali dianggap lebih bertanggung jawab dan stabil. Pandangan ini menciptakan kesenjangan yang tidak adil antara pria dan wanita dalam dunia kerja.

4. Diskriminasi Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Diskriminasi dalam rekrutmen di Indonesia tidak hanya terjadi berdasarkan penampilan, usia, atau gender, tetapi juga pada latar belakang pendidikan. Pria ini berpendapat bahwa banyak perusahaan yang lebih mengutamakan pelamar dari universitas-universitas ternama, meskipun skill dan potensi seseorang tidak selalu ditentukan oleh asal almamater.

Ini menciptakan stigma bahwa lulusan universitas tertentu memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan lulusan universitas lain, yang pada kenyataannya tidak selalu demikian. Akibatnya, banyak lulusan dari perguruan tinggi di daerah atau universitas swasta yang kurang dikenal kesulitan mendapatkan pekerjaan meskipun memiliki skill yang mumpuni.

Dalam pandangannya, sistem pendidikan di Indonesia sudah diskriminatif sejak awal karena adanya gap yang cukup besar antara universitas "elite" dan universitas "biasa". Hal ini kemudian terbawa ke dunia kerja, di mana pelamar dari universitas ternama lebih diutamakan dibandingkan mereka yang datang dari latar belakang pendidikan yang lebih sederhana.

5. Dampak Diskriminasi pada Dunia Kerja

Diskriminasi dalam rekrutmen memiliki dampak yang sangat luas, baik bagi pelamar kerja maupun bagi perusahaan itu sendiri. Bagi pelamar, diskriminasi ini bisa mengurangi kesempatan mereka untuk berkembang dan mendapatkan pekerjaan yang layak, terlepas dari skill dan kemampuan mereka yang sebenarnya. Hal ini bisa menyebabkan frustrasi dan ketidakpercayaan diri pada banyak orang yang akhirnya menyerah untuk bersaing di dunia kerja.

Sementara itu, bagi perusahaan, diskriminasi dalam rekrutmen bisa menyebabkan mereka kehilangan talenta terbaik yang sebenarnya bisa membawa kemajuan besar bagi perusahaan. Fokus yang berlebihan pada aspek-aspek seperti penampilan, usia, atau latar belakang pendidikan bisa membuat perusahaan mengabaikan pelamar yang sebenarnya sangat berpotensi.

6. Bagaimana Mengatasi Diskriminasi?

Untuk mengatasi diskriminasi dalam proses rekrutmen, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, perusahaan harus lebih fokus pada skill dan kompetensi daripada hal-hal yang tidak relevan seperti penampilan atau usia. Proses seleksi harus lebih transparan dan berkeadilan, dengan mempertimbangkan semua pelamar secara setara.

Kedua, regulasi pemerintah tentang anti-diskriminasi dalam dunia kerja harus diterapkan dengan lebih tegas. Pemerintah perlu memastikan bahwa perusahaan-perusahaan mematuhi aturan yang ada dan tidak mendiskriminasi pelamar kerja berdasarkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kinerja.

Terakhir, para pencari kerja juga harus lebih aktif bersuara jika mereka merasa diperlakukan tidak adil selama proses rekrutmen. Dengan bersatu melawan diskriminasi, kita bisa menciptakan dunia kerja yang lebih adil dan setara bagi semua orang.

Pria Ini Berpendapat Kalau di Indonesia Itu Diskriminatif Banget Dalam Rekrutmen Kerja

Diskriminasi dalam proses rekrutmen di Indonesia masih menjadi masalah besar yang berdampak pada banyak orang. Penampilan fisik, usia, gender, dan latar belakang pendidikan sering kali menjadi faktor penentu yang tidak adil dalam mendapatkan pekerjaan. Pria ini dengan tegas menyuarakan bahwa diskriminasi ini adalah penghalang besar bagi banyak orang yang sebenarnya memiliki potensi dan kemampuan untuk sukses di dunia kerja.

Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk terus berjuang melawan diskriminasi ini dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih inklusif dan adil bagi semua orang.

Baca juga: Reza Arap Komen di Tweet Kemenparekraf Sandiaga Uno yang Ikut Bangga IShowSpeed ke Indonesia "Kemana Saja Pak?"

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150