Berita

Susah Dapat Kerja, Lulusan Oxford Bergelar PhD Memilih Kerja Jadi Kurir

Muhammad Fatich Nur Fadli 10 Juli 2025 | 17:07:50

 

Zona Mahasiswa - Realitas pasar kerja yang kian kompetitif dan tidak selalu sejalan dengan kualifikasi pendidikan tinggi kini menjadi sorotan. Kisah Ding Yuanzhao (39), seorang pria asal China dengan segudang gelar dari universitas ternama dunia, menjadi bukti nyata betapa sulitnya mencari pekerjaan impian. Meski mengantongi gelar dari tiga institusi elite Oxford University, Peking University, dan Nanyang Technological University (NTU) Ding kini memilih bekerja sebagai pengantar makanan di Singapura.

Baca juga: Ironis! 571.410 NIK Penerima Bansos Terlibat Judi Online, Bagaimana Langkah Pemerintah

Perjalanan Akademik Gemilang Berujung Kesusahan Mencari Kerja

Ding Yuanzhao bukanlah individu biasa dalam hal pendidikan. Ia memegang gelar master bidang biodiversitas dari Oxford University, kemudian gelar master bidang rekayasa energi dari Peking University, dan puncaknya adalah gelar PhD bidang biologi dari NTU, Singapura. Sebuah profil akademik yang gemilang dan seharusnya menjadi gerbang menuju karier cemerlang.

Namun, setelah menyelesaikan masa postdoctoral di National University of Singapore (NUS) pada Maret 2023, Ding Yuanzhao dihadapkan pada kenyataan pahit. Ia mengaku kesulitan mendapatkan pekerjaan. Lebih dari sepuluh wawancara kerja telah ia jalani, namun tak satu pun membuahkan hasil. Ini mencerminkan fenomena yang semakin umum di banyak negara, yaitu kondisi "overqualified tapi underemployed"  memiliki kualifikasi pendidikan yang sangat tinggi namun bekerja di posisi yang jauh di bawah level kualifikasinya.

Tekanan Finansial Mendorongnya ke Gig Economy

Tekanan finansial dan minimnya pilihan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya akhirnya mendorong Ding Yuanzhao untuk terjun ke dunia gig economy sebagai kurir makanan. Pekerjaan ini, yang seringkali dianggap sebagai pekerjaan paruh waktu atau sementara, kini menjadi tumpuan hidupnya.

Dalam sehari, Ding bekerja hingga 10 jam dan bisa menghasilkan sekitar S$700 per minggu atau setara dengan sekitar Rp8 juta. Baginya, pekerjaan ini menawarkan stabilitas yang ia butuhkan untuk menghidupi keluarganya.

"Ini pekerjaan yang stabil. Saya bisa menghidupi keluarga. Kalau kerja keras, penghasilannya cukup layak," tulisnya di media sosial, mengutip SCMP pada Kamis, 10 Juli 2025. Ia bahkan menemukan keuntungan tambahan dari pekerjaannya itu. "Salah satu kelebihan jadi pengantar makanan adalah sekalian olahraga," imbuhnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ding berusaha melihat sisi positif dari situasi yang dihadapinya, meskipun secara kualifikasi ia sangatlah "berlebihan" untuk pekerjaan tersebut.

Memilih Jalan Berbeda dari Lulusan Lain

Menurut laporan South China Morning Post (SCMP), banyak lulusan pendidikan tinggi di Asia yang menghadapi kesulitan serupa seringkali mengandalkan les privat sebagai alternatif pemasukan. Namun, Ding Yuanzhao justru memilih tidak mengambil jalur itu. "Saya terlalu malu untuk mencari murid sendiri," akuinya. Keputusan ini mungkin berasal dari rasa gengsi atau preferensi pribadi untuk pekerjaan yang lebih dinamis dan tidak terlalu membutuhkan interaksi sosial yang intensif.

Kisah Ding Yuanzhao menjadi cerminan dari tantangan global di pasar kerja yang semakin kompetitif dan berubah. Gelar akademik tinggi dari universitas bergengsi tidak lagi menjadi jaminan otomatis untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Pergeseran kebutuhan industri, otomatisasi, dan persaingan ketat membuat banyak lulusan berkualitas tinggi harus berpikir kreatif dan adaptif untuk mencari nafkah.

Implikasi dan Refleksi

Kisah Ding Yuanzhao ini menimbulkan beberapa pertanyaan dan refleksi penting:

  1. Relevansi Pendidikan Tinggi: Sejauh mana pendidikan tinggi, bahkan dari institusi kelas dunia, masih relevan dengan kebutuhan pasar kerja saat ini? Apakah ada ketidakcocokan antara kurikulum universitas dan keterampilan yang dicari oleh industri?
  2. Fenomena Underemployment: Kasus ini menyoroti meningkatnya fenomena underemployment, di mana individu bekerja di posisi yang tidak memanfaatkan sepenuhnya keterampilan, pengetahuan, atau pengalaman mereka. Ini dapat menyebabkan frustrasi, motivasi rendah, dan potensi ekonomi yang tidak termanfaatkan.
  3. Dukungan Pemerintah dan Universitas: Apa peran pemerintah dan universitas dalam membantu lulusan menghadapi tantangan ini? Apakah ada program reskilling atau upskilling yang lebih efektif, atau dukungan dalam menavigasi pasar kerja yang sulit?
  4. Gig Economy sebagai Solusi Alternatif: Sektor gig economy memang menawarkan fleksibilitas dan akses mudah ke pekerjaan, namun seringkali tanpa jaminan keamanan kerja atau manfaat sosial. Apakah ini solusi jangka panjang yang sehat bagi para profesional yang "overqualified"?

Kisah Ding Yuanzhao adalah pengingat bahwa jalan menuju kesuksesan tidak selalu linear dan terprediksi. Dalam menghadapi ketidakpastian pasar kerja, adaptasi, ketahanan mental, dan kemampuan untuk menemukan peluang di luar jalur konvensional menjadi kunci. Semoga kisah ini dapat memicu diskusi lebih lanjut tentang bagaimana kita dapat menjembatani kesenjangan antara pendidikan tinggi dan realitas pekerjaan di era modern.

Baca juga: Kisah dari Pemulung yang Tidur di Kolong Jembatan, Wendi Sering Lihat Mayat Mengapung di Kali Ciliwung

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150