
Zona Mahasiswa - Di balik hiruk pikuk Ibu Kota, tersimpan kisah-kisah getir dari mereka yang berjuang di garis terpinggir. Salah satunya adalah Wendi (40), seorang pemulung yang menjadikan kolong Jembatan Pasar Rumput sebagai rumahnya. Bukan cerita tentang hantu yang membuat Wendi sering terkejut, melainkan pemandangan mengerikan yang telah menjadi bagian dari kesehariannya: mayat-mayat yang mengapung di Kali Ciliwung.
Kehidupan di bawah jembatan yang menghubungkan Jalan Sukabumi dengan Jalan Sultan Agung ini, di tepi Kali Ciliwung yang lebar dan dalam, jauh dari kata nyaman. Namun, bagi Wendi, inilah satu-satunya pilihan.
Perjuangan Hidup di Bawah Jembatan
Dilansir dari detik.com, Wendi menjalani hidup sebagai pemulung karena keterbatasan ekonomi. Dengan upah sekitar Rp 80.000 per hari, uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk sekadar makan, jauh dari cukup untuk menyewa kontrakan. Kondisi ini memaksanya untuk rela tidur di kolong jembatan, sebuah keputusan yang diambilnya demi bertahan hidup.
Ia tidak sendirian. Wendi kini tinggal berdua bersama Amor, sahabatnya yang dikenalnya sejak masih di Depok. Mereka bisa menetap di kolong jembatan ini karena diajak oleh mertua Amor, yang merasa iba melihat Wendi harus tidur di pinggir jalan dengan situasi yang sangat tidak aman. Kehadiran Amor dan mertuanya menjadi sedikit oase di tengah kerasnya hidup Wendi.
Horor Nyata di Kali Ciliwung: Mayat Mengambang dan Insiden Lainnya
Bagi Wendi, bau air Kali Ciliwung yang tak sedap dan gigitan nyamuk sudah menjadi hal lumrah. Namun, ada satu hal yang kerap membuatnya terkejut dan mungkin lebih menyeramkan dari sekadar cerita hantu: seringnya ia melihat mayat mengambang di atas Kali Ciliwung.
Pemandangan ini tidak hanya terbatas pada mayat orang dewasa. Wendi bahkan pernah menjumpai mayat bayi yang dibuang di dekat Pintu Air Manggarai, masih terbungkus dalam kantong plastik. “Pernah dulu ada mayat bayi dibuang dekat pintu air situ (Pintu Air Manggarai), masih dalam kantong plastik. Menurut orang sih masih baru, katanya baru beberapa jam meninggal gara-gara dikekep,” tutur Wendi saat diwawancarai detikcom pada Kamis, 3 Juli 2025. Cerita ini menggambarkan betapa kejamnya sisi lain kehidupan di perkotaan.
Meskipun sering menjadi saksi bisu peristiwa-peristiwa tragis ini, Wendi memilih untuk diam dan tidak melaporkannya ke pihak berwenang. Alasannya pragmatis: ia memilih untuk fokus mencari nafkah dengan memulung daripada harus berurusan dengan polisi sebagai saksi mata. Baginya, setiap waktu adalah uang, dan terlibat dalam proses hukum akan menghambatnya mencari rezeki.
Selain mayat, Wendi juga beberapa kali menyaksikan orang-orang yang tercebur ke Kali Ciliwung dan terseret arus deras. Korban-korban ini beragam, mulai dari anak-anak yang berenang di pinggir kali hingga korban tawuran antarwarga yang memang sering terjadi di daerah tempat tinggal Wendi.
“Kalau sudah ada yang tawuran gitu mah saya kabur aja deh, mending ngumpet di bawah kolong. Takut saya nggak berani,” ujarnya.
Tidak hanya warga sekitar, Wendi juga mengaku sering melihat sejumlah pemulung lainnya yang terjatuh ke Kali Ciliwung. Ini bisa terjadi karena kehilangan keseimbangan atau terpeleset saat turun ke kolong jembatan. “Udah sering, tapi ada yang selamat karena bisa berenang. Kalau enggak bisa ya udah hilang aja keseret arus,” papar Wendi. Potret ini menunjukkan betapa tingginya risiko yang harus dihadapi para pemulung demi sesuap nasi.
Keamanan Relatif di Kolong Jembatan
Meskipun harus berhadapan dengan pemandangan mayat dan risiko jatuh ke sungai, Wendi tidak terlalu ambil pusing. Baginya, tinggal di kolong jembatan adalah keputusan yang tepat, terutama mengingat belasan tahun hidupnya ia tidak memiliki tempat tinggal tetap.
Letak kolong jembatan yang ada di bawahnya memberikan perlindungan dari panas matahari terik dan guyuran hujan. Selain itu, lokasinya yang tersembunyi juga dianggap Wendi lebih aman dari tindak kejahatan dibandingkan tidur di tempat terbuka.
“Dulu saya mah pernah dibetak (dicuri) jam 3 Subuh pas lagi tidur di halte bus, terus barang saya hilang sama KTP juga. Yang betak itu pakai motor langsung kabur. Kalau di sini (bawah jembatan) nggak pernah, kalau tidur di emper-emperan gitu risikonya,” ungkap Wendi.
Kisah Wendi adalah gambaran nyata dari perjuangan para pemulung dan tunawisma di kota besar, yang harus menghadapi tantangan ekstrem demi bertahan hidup. Ini juga membuka mata tentang sisi lain kehidupan di pinggiran Kali Ciliwung, yang menyimpan cerita-cerita kelam di balik derasnya arus. Wendi, dengan segala keterbatasannya, terus berjuang, mencari makna dari setiap puing yang ia kumpulkan, di tengah pemandangan yang terkadang membuatnya bergidik.
Baca juga: Viral! Kurir COD Pamekasan Dicekik Pembeli, Pelakunya ASN Pemkab Sampang
Komentar
0