
Zona Mahasiswa - Ketika jabatan anggota parlemen di banyak negara dikaitkan dengan gaji tinggi, tunjangan mewah, dan fasilitas serba eksklusif, Swedia menawarkan gambaran yang sangat berbeda. Di negara Nordik ini, menjadi wakil rakyat bukanlah tiket menuju kemewahan. Justru sebaliknya, para anggota parlemen Swedia hidup berdampingan dengan rakyat yang mereka wakili, menggunakan transportasi umum, dan tidak mendapatkan keistimewaan yang mencolok.
Baca juga: Tragis! Seorang Wanita di Indramayu Tewas Dibakar Pacarnya yang Seorang Polisi, Uang Rp32 Juta Raib
Perbedaan mencolok ini menjadi perbincangan hangat, terutama di tengah maraknya berita mengenai tunjangan anggota DPR RI yang kerap menjadi sorotan publik. Alih-alih mendapatkan mobil dinas pribadi, para politisi di Swedia harus menggunakan bus dan kereta api, sama seperti warga negara biasa.
Tanpa Mobil Dinas, Politisi Swedia Naik Bus dan Kereta
Di Swedia, konsep DPR tanpa mobil dinas sudah menjadi norma. Tidak ada mobil mewah, tidak ada sopir pribadi, dan tidak ada tunjangan bensin yang menggiurkan. Wakil rakyat di sana diharapkan untuk berbaur dengan masyarakat, merasakan langsung kondisi transportasi publik yang mereka kelola. Sebuah laporan dari Mail and Guardian bahkan menyebutkan, politisi yang nekat menggunakan uang rakyat untuk naik taksi ketimbang transportasi massal akan menjadi berita utama dan mendapat sorotan tajam dari media.
Aturan ini berlaku untuk semua, bahkan para menteri dan anggota parlemen. Hanya perdana menteri yang diberikan hak istimewa untuk menggunakan mobil dari pasukan keamanan secara permanen. Selebihnya, setiap anggota parlemen, termasuk juru bicara, hanya dibekali dengan kartu transportasi umum gratis.
Menurut laporan BBC, Parlemen Swedia hanya memiliki tiga mobil dinas berupa Volvo S80. Mobil-mobil ini hanya diperuntukkan bagi ketua dan tiga wakilnya, dan penggunaannya pun terbatas untuk tugas-tugas parlemen. Hal ini semakin ditegaskan oleh seorang pejabat parlemen, Rene Poedtke, yang dengan tegas menyatakan, "Kami bukan perusahaan taksi." Tiga mobil dinas tersebut tidak boleh digunakan untuk mengantar anggota DPR dari kantor ke rumah.
Aturan ketat ini bukan tanpa alasan. Swedia memiliki filosofi pemerintahan yang menekankan pada kesederhanaan, transparansi, dan akuntabilitas. Dengan tidak memberikan fasilitas berlebih, pemerintah Swedia ingin memastikan bahwa para politisi tetap membumi dan memahami realitas kehidupan rakyatnya. Mereka meyakini bahwa dengan merasakan kesulitan yang sama, para wakil rakyat akan lebih termotivasi untuk membuat kebijakan yang benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Perbandingan dengan Tunjangan Anggota DPR RI
Kontras dengan Swedia, kondisi di Indonesia menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Publik Indonesia kembali dihebohkan dengan kabar tunjangan anggota DPR RI yang dianggap sangat fantastis. Salah satunya adalah tunjangan rumah senilai Rp 50 juta per bulan. Tunjangan ini diberikan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas yang telah dihapus.
Selain itu, anggota DPR RI juga masih menerima tunjangan transportasi atau bensin. Menurut Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, tunjangan bensin ini tidak mengalami kenaikan dan tetap berada di angka Rp 3 juta per bulan. Meskipun nominalnya tetap, keberadaan tunjangan ini sering kali memicu perdebatan di masyarakat, terutama jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata rakyat biasa.
Tunjangan-tunjangan ini sering kali dianggap sebagai pemborosan anggaran negara dan tidak sejalan dengan semangat pengabdian kepada rakyat. Masyarakat menilai bahwa fasilitas mewah ini membuat para wakil rakyat semakin jauh dari realitas kehidupan sehari-hari yang dialami oleh rakyatnya.
Tingginya tunjangan, gaji, dan berbagai fasilitas lainnya di Indonesia menjadi salah satu alasan utama mengapa jabatan anggota DPR menjadi sangat didambakan, bahkan sering kali menimbulkan persaingan politik yang ketat. Berbeda dengan di Swedia, di mana motivasi untuk menjadi politisi lebih didasarkan pada keinginan untuk melayani dan membuat perubahan, bukan karena iming-iming materi.
Perbedaan budaya politik ini menunjukkan dua pendekatan yang kontras dalam mengelola pemerintahan dan menempatkan wakil rakyat. Swedia memilih jalur kesederhanaan dan kedekatan dengan rakyat, sementara Indonesia masih bergumul dengan isu-isu tunjangan dan fasilitas mewah yang kerap menimbulkan polemik.
Kasus Swedia menjadi cerminan bahwa menjadi politisi tidak harus identik dengan kemewahan. Sebaliknya, kesederhanaan dan empati terhadap rakyat dapat menjadi modal utama untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Mungkin sudah saatnya Indonesia belajar dari Swedia, bahwa kekuasaan sejati tidak diukur dari seberapa banyak tunjangan yang diterima, tetapi dari seberapa besar pengabdian yang diberikan kepada rakyat.
Baca juga: Viral! Pria Ini Batal Nikah setelah Tahu Kalau Calon Mempelai Wanitanya Ternyata Laki-laki
Komentar
0