
Zona Mahasiswa - Kasus tewasnya Brigadir Nurhadi di sebuah kolam vila di Lombok semakin menemui titik terang. Hasil penyelidikan awal dan keterangan saksi mengarah pada motif tragis: Nurhadi diduga dihabisi nyawanya lantaran mencoba merayu dan mendekati wanita yang disewa oleh salah satu seniornya. Ironisnya, kematian Nurhadi terjadi setelah pesta narkoba dan minuman keras yang melibatkan dua atasannya, Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Haris Chandra, serta dua wanita.
Baca juga: Heboh Seorang Pendeta Diduga Cabuli 4 Anak Sopirnya, Hotman Paris Turun Tangan
Dilema ini membuka kotak pandora pertanyaan kompleks tentang bagaimana sebuah ekspresi budaya, teknologi, atau hiburan dapat menimbulkan interpretasi yang begitu berbeda di antara berbagai pilar masyarakat Indonesia yang multikultural dan majemuk.
Fatwa Haram: Sebuah Pernyataan Tegas dari Lembaga Keagamaan
Fatwa haram atas "sound horeg" secara resmi dikeluarkan dalam forum Bahtsul Masail yang digelar bertepatan dengan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriah, di Ponpes Besuk. Pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhibbul Aman Aly, menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata karena tingkat kebisingan ekstrem yang ditimbulkan oleh "sound horeg". Sebaliknya, alasan utama di balik fatwa ini adalah konteks dan dampak sosial yang melekat pada praktik "sound horeg" itu sendiri, yang dinilai berpotensi menimbulkan mudarat (kerugian) lebih besar daripada manfaatnya.
Meskipun detail spesifik mengenai "konteks dan dampak sosial" yang dimaksud belum dijelaskan secara menyeluruh dalam rilis fatwa, secara umum dapat diasumsikan bahwa ulama mempertimbangkan beberapa aspek yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan ketertiban sosial:
- Gangguan Ketertiban Umum: Meskipun dikesampingkan sebagai alasan utama, kebisingan ekstrem dari "sound horeg" yang sering kali mencapai desibel sangat tinggi tetap menjadi faktor krusial dalam konteks keresahan masyarakat. Hal ini dapat mengganggu ketenangan, ibadah, belajar, hingga kesehatan pendengaran.
- Aspek Moral dan Sosial: Ada kekhawatiran tentang praktik-praktik yang menyertai penggunaan "sound horeg", seperti kerumunan besar yang tidak terkontrol, potensi memicu perilaku tidak etis, atau gangguan pada waktu ibadah dan istirahat masyarakat.
- Pemborosan (Israf) dan Kemubaziran: Penggunaan sistem suara yang sangat mahal dan bertenaga besar untuk tujuan hiburan semata mungkin juga dilihat sebagai bentuk pemborosan sumber daya yang tidak sejalan dengan prinsip kesederhanaan dalam ajaran agama.
Fatwa ini mencerminkan peran ulama dalam menjaga kemaslahatan umat dan menuntun masyarakat agar terhindar dari hal-hal yang dianggap merugikan secara spiritual maupun sosial. Keputusan ini, seperti yang terjadi sebelumnya pada berbagai isu publik, memicu perdebatan luas di kalangan warganet, khususnya mereka yang menggemari atau mencari nafkah dari industri "sound horeg".
Pengakuan Hukum: "Olah Pikir Anak Bangsa" yang Berhak Dilindungi HAKI
Di sisi lain spektrum, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Timur memiliki pandangan yang sangat berbeda, bahkan kontras. Pada Selasa, 22 April 2025 lalu, Kemenkumham Jatim justru mengesahkan "sound horeg" sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jatim, Haris Sukamto, saat itu mengatakan bahwa "sound horeg" adalah sebuah nama hasil olah pikir anak bangsa yang layak diapresiasi. Pengesahan HAKI ini menunjukkan bahwa secara hukum, "sound horeg" diakui sebagai sebuah inovasi, kreativitas, atau karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan patut dilindungi. Ini memberikan perlindungan hukum bagi pencipta atau pemiliknya, mencegah penggunaan tanpa izin, dan memungkinkan pengembangan komersial lebih lanjut. Bagi Kemenkumham, ini adalah bentuk dukungan terhadap ekonomi kreatif dan inovasi lokal.
Pengakuan HAKI ini tentu menjadi angin segar bagi para pelaku usaha "sound horeg" yang selama ini berkutat dengan inovasi teknis dan artistik untuk menghasilkan kualitas suara yang khas dan masif. Mereka melihat "sound horeg" sebagai sebuah bentuk seni pertunjukan yang membutuhkan keahlian teknis dan kreativitas.
Keresahan Masyarakat: Antara Gangguan dan Potensi Ekonomi Lokal
Di tengah dua kutub pandangan yang saling bertolak belakang ini, ada sebagian masyarakat yang merasakan keresahan mendalam akibat fenomena "sound horeg". Keresahan ini umumnya berakar pada:
- Tingkat Kebisingan yang Ekstrem: "Sound horeg" dikenal dengan volume suaranya yang sangat tinggi, seringkali jauh melebihi batas toleransi kebisingan yang wajar. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 70 Tahun 2016 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi, baku mutu tingkat kebisingan di lingkungan pemukiman siang hari adalah 55 dB, sementara "sound horeg" bisa mencapai lebih dari 100 dB. Ini dapat mengganggu ketenangan lingkungan, mengganggu waktu istirahat, mengganggu konsentrasi belajar, dan bahkan berpotensi merusak pendengaran jika terpapar terlalu lama.
- Gangguan Lalu Lintas dan Lingkungan: Acara "sound horeg" seringkali melibatkan kerumunan massa dan arak-arakan di jalan, yang dapat menyebabkan kemacetan dan gangguan ketertiban umum. Setelah acara, sering kali meninggalkan tumpukan sampah dan limbah yang menjadi masalah lingkungan.
- Persepsi Negatif: Bagi sebagian masyarakat, "sound horeg" diasosiasikan dengan keributan, perilaku ugal-ugalan, atau bahkan praktik-praktik negatif lainnya, yang kemudian membentuk stigma kurang baik.
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa industri "sound horeg" telah menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi lokal. Mulai dari produsen sound system, penyedia jasa sewa, operator, hingga pekerja event dan pedagang UMKM di sekitar lokasi acara, semuanya merasakan dampak ekonomi dari keberadaan fenomena ini. Pelarangan total tanpa solusi alternatif berpotensi mematikan ribuan mata pencarian.
Mencari Titik Temu: Dialog dan Regulasi Komprehensif
Dilema ini menempatkan pemerintah daerah dalam posisi yang sangat sulit. Di satu sisi, ada pengakuan hukum atas HAKI dan potensi ekonomi kreatif yang perlu didukung. Di sisi lain, ada tuntutan dari kelompok agama dan keresahan masyarakat terkait dampak sosial dan lingkungan. Pemerintah perlu mencari titik keseimbangan yang adil dan berkelanjutan, yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa mengorbankan ketertiban umum dan nilai-nilai sosial.
Untuk mengatasi ironi dan konflik pandangan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan dialog multi-pihak dan regulasi yang bijaksana:
- Dialog Antar Pemangku Kepentingan: Penting untuk mempertemukan ulama, seniman/komunitas "sound horeg", pemerintah (baik Kemenkumham, pemerintah daerah, kepolisian, dll.), serta perwakilan masyarakat yang resah. Dialog ini bertujuan untuk memahami perspektif masing-masing, mencari titik temu, dan merumuskan solusi bersama yang mengakomodasi keberagaman kepentingan.
- Regulasi yang Jelas dan Tegas: Pemerintah daerah perlu merumuskan regulasi yang jelas dan tegas mengenai penggunaan "sound horeg", terutama di ruang publik. Ini bisa mencakup batasan volume suara yang disesuaikan dengan zona area (pemukiman, industri, komersial), waktu operasional yang tidak mengganggu ibadah atau istirahat, lokasi yang diizinkan (misalnya, di area khusus atau jauh dari pemukiman padat), serta sanksi bagi pelanggar. Regulasi juga harus mempertimbangkan potensi gangguan dan dampak sosial secara menyeluruh.
- Edukasi dan Sosialisasi: Edukasi kepada komunitas "sound horeg" tentang pentingnya toleransi, etika dalam berkesenian, dan tanggung jawab sosial sangat penting. Sebaliknya, masyarakat umum juga perlu diedukasi tentang esensi "sound horeg" sebagai bentuk ekspresi seni atau kreativitas, jika memang demikian adanya.
- Inovasi dan Adaptasi Teknologi: Komunitas "sound horeg" dapat didorong untuk berinovasi, misalnya dengan mencari cara untuk mengurangi dampak negatif (seperti penggunaan teknologi peredam suara, atau desain speaker yang lebih fokus ke audiens) tanpa mengurangi esensi kreativitas dan kualitas audio mereka.
- Pendekatan Kesejahteraan Umum (Maslahat): Setiap kebijakan harus didasarkan pada prinsip kesejahteraan umum yang lebih luas. Artinya, suatu aktivitas dapat diterima jika manfaatnya jauh lebih besar daripada kerugiannya, dan kerugian dapat diminimalisir melalui mitigasi yang efektif.
Ironi "sound horeg" adalah cerminan dari dinamika kompleks masyarakat Indonesia yang berusaha menyeimbangkan antara tradisi, agama, modernitas, dan hak-hak individual. Penanganan kasus ini akan menjadi ujian bagi kemampuan kita sebagai bangsa untuk berdialog, beradaptasi, dan merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan bagi semua.
Baca juga: Viral! Pengakuan Mahasiswi di Semarang yang Diduga Jadi Korban Pelecehan ASN Kelurahan
Komentar
0