Opini

Ketidaknormalan Tragedi Kanjuruhan Menjadi Malapetaka Bagi Ribuan Penonton

Nisrina Salsabila 05 Oktober 2022 | 10:52:35

zonamahasiswa.id - Ketika menonton bola, seharusnya penonton menikmati jalannya pertandingan dengan tentram dan nyaman. Namun, tidak dengan kejadian yang baru saja terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Ratusan nyawa melayang gegara tembakan gas air mata yang mengarah ke tribun penonton. Alhasil mereka berbondong-bondong lari ke sana ke mari melindungi diri dari gas air mata. Nyatanya, banyak dari mereka yang harus gugur dalam upaya menyelamatkan diri sendiri.

Sementara, atas kejadian ini publik mulai membuka mata dengan beberapa fakta yang terjadi malam itu. Mereka menyoroti banyak kejanggalan dan ketidaknormalan dari benang kusut koordinasi yang akhirnya didiamkan begitu saja.

Baca Juga: Momen Siswa 'Marahi' Jokowi Gegara Ponsel: HP Saya Rusak karena Ngejar Bapak

Tragedi Kanjuruhan

Mengingat kembali momentum pertandingan sepak bola yang dihadiri ribuan penonton. Identik dengan kaos biru menyelimuti seluruh penjuru Stadion Kanjuruhan. Belum lagi, nyanyian kebanggaan yang selalu berkumandang setiap klub favoritnya bertanding.

Memang, bencana bisa terjadi kapan dan di mana saja. Namun, tak ada salahnya jika mencegah terlebih dahulu daripada memakan banyak korban. Ini terjadi pada panitia pelaksana (panpel) yang seharusnya bisa mengumumkan melalui pengeras suara tentang jalur evakuasi jika terjadi kerusuhan.

Sayangnya, mereka terlalu abai dengan hal itu dan etah apa yang dilakukan saat para penonton berlarian dengan rasa kepanikan yang memuncak. Ketidaknormalan ini didiamkan begitu saja hingga menimbulkan ratusan nyawa melayang.

Hal lainnya yang dibiarkan begitu saja adalah lagu yang kerap dinyanyikan penonton dengan lirik 'Dibunuh Saja!'. Lirik tersebut dinyanyikan tanpa beban dan dinormalisasi dengan terus mengenggema di penjuru stadion.

Jika merujuk Hannah Arendt yang meliti kejahatan para penjahat Perang Dunia II menyebut adanya banalitas kejahatan dapat dirasakan sebagai sesuatu yang banal atau biasa sekali.

Dengan adanya lirik tersebut, bisa diartikan sebagai sebuah banalitas kejahatan. Penonton yang tersulut amarah akan mudah melakukan kekerasan, karena dalam alam bawah sadarnya mereka terpatri membunuh sebagai hal yang biasa.

Ketidaknormalan selanjutnya juga ditemukan saat pihak PSSI, operator kompetisi, dan panpel pertandingan menjual tiket melebihi kapasitas stadion. Terlebih, pihak mereka tidak menyiapkan mitigasi bencana jika terjadi hal buruk.

Seharusnya mereka bisa mengumumkan mengenai jalur evakuasi, apa yang harus dilakukan saat terjadi bencana, hingga adanya papan petunjuk untuk menuntun penonton agar tidak larut dalam kepanikannya.

Salah satu contohnya adalah pintu stadion yang terlalu kecil, dirasa sangat menyulitkan penonton untuk menyalamatkan diri jika terjadi bencana. Satu-satunya jalan bagi mereka dengan memanjat tembok meski harus ditebus dengan luka maupun cedera.

Sebelum kompetisi berlangsung, seharusnya pihak operator liga dan federasi melakukan pengecekan kelayakan stadion seperti hal mitigasi yang wajib ada. Lalu juga merundingkan jadwal pertandingan yang seharusnya tidak digelar terlalu larut malam.

Entah mengapa rasanya pihak federasi dan operator terlalu bebal dengan tetap menjadwalkan pertandingan pada malam hari. Akibatnya, kerusuhan tak terhindarkan. Dalam Tragedi Kanjuruhan, kabarnya sudah ada pihak yang meminta untuk menggelar pertandingan pada sore hari tapi ditolak.

Ketidaknormalan lain yang menjadi pemicu banyak korban berjatuhan adalah penggunaan gas air mata dalam stadion. Jelas dalam regulasi keamanan dan keselamatan yang dirilis oleh FIFA menyebut adanya larangan penggunaan gas air mata.

Pada kericuhan yang terjadi, ratusan Aremania bahkan aparat keamanan meninggal dalam tragedi memilukan di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Adanya pengunaan gas air mata ini menunjukan bagaimana buruknya koordinasi antara PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), panpel, dan aparat kemanan.

Berbagai ketidaknormalan hingga kejanggalan tersebut tetap dijalankan dan puncaknya sampai memakan ratusan penonton di lokasi kejadian. Hal ini seharusnya cukup menjadi pembelajaran bagi pihak atas agar kejadian serupa tak terulang kembali.

Kini, masyarakat pun sudah tidak percaya lagi dengan aparat dengan adanya kejadian ini. Mereka menuntut adanya investigasi yang berasal dari pihak-pihak independen. Bukan untuk memenangkan kasus, tapi agar semua yang terjadi dalam Tragedi Kanjuruhan jelas tanpa ditutup-tutupi.

Ingat, tak ada sepak bola yang seharga dengan nyawa.

Ketidaknormalan Tragedi Kanjuruhan Menjadi Malapetaka Bagi Ribuan Penonton

Itulah ulasan mengenai Tragedi Kanjuruhan yang penuh dengan kejanggalan dan ketidaknormalan hingga menjadi malapetaka bagi ribuan penonton di Stadion Kanjuruhan.

Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.

Baca Juga: Oknum Pengurus EM UB Dipecat Gegara Diduga Lakukan Kekerasan Seksual

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150