
Zona Mahasiswa - Keadilan dalam kasus penembakan mati pelajar berusia 13 tahun berinisial MAF oleh dua prajurit TNI, Serka Darmen Hutabarat dan Serda Hendra Fransisco Manalu, anggota Kodim 0204 Deli Serdang, kembali dipertanyakan. Sejumlah aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas MAF menggeruduk Pengadilan Militer I-02 Medan pada Kamis (17/7/2025), memprotes keras ringannya tuntutan yang diberikan kepada para pelaku.
Kejanggalan Tuntutan dan Pasal yang Diterapkan
Dalam aksi unjuk rasa tersebut, Bonaerges Marbun (20) selaku koordinator aksi, menyampaikan bahwa ada kejanggalan signifikan dalam proses hukum yang menimpa kedua prajurit tersebut. Ia menjelaskan bahwa dalam dakwaan awal, oditur (jaksa militer) menerapkan sejumlah pasal yang lebih berat. Di antaranya adalah Pasal 76 c Jo Pasal 80 Ayat (3) UU RI No 35 Tahun 2014 Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan pertama, serta Pasal 338 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Subs Pasal 351 ayat (3) Jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP sebagai dakwaan kedua. Pasal-pasal ini mengindikasikan adanya unsur kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan kematian hingga pembunuhan atau penganiayaan yang mengakibatkan kematian.
Namun, Bonaerges menyayangkan perubahan drastis pada tahap tuntutan. "Tiba-tiba di tuntutan, terdakwa hanya dikenakan Pasal 359 KUHPidana. Tentu ini sangat janggal," kata Bonaerges saat diwawancarai. Pasal 359 KUHP sendiri mengatur tentang kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain, yang ancaman hukumannya jauh lebih ringan dibanding pasal-pasal dalam dakwaan awal.
Pada sidang tuntutan yang digelar Senin (14/7/2025), Mayor Tecki selaku oditur memang membacakan tuntutan pidana penjara yang relatif ringan. "Terdakwa Darmen Hutabarat dipidana penjara 18 bulan dan Hendra Manalu dipidana penjara 1 tahun," kata Tecki, seraya menyebut keduanya dijerat dengan Pasal 359 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHPidana. Mendapati tuntutan itu, kedua terdakwa pun mengajukan nota pembelaan.
Kontras Tuntutan Prajurit TNI dan Sipil
Kejanggalan lain yang disoroti oleh mahasiswa adalah perbedaan signifikan antara tuntutan terhadap prajurit TNI dan empat warga sipil yang turut serta dalam kasus MAF. Keempat warga sipil tersebut, yakni Agung Pratama, M Abdillah Akbar, Eduardus Jeriko Nainggolan, dan Paul M Sitompul, turut diadili di Pengadilan Negeri Sei Rampah.
"Anehnya, sipil yang turut serta dituntut 8 tahun penjara dan divonis 4 tahun. Padahal dia bukan otak pelaku," ujar Bonaerges. Ia melanjutkan, "Masa lebih berat tuntutan sipil yang ikut serta dibandingkan tentara yang menjadi otak pelaku." Perbedaan tuntutan ini memicu kemarahan publik dan keluarga korban, karena dinilai tidak proporsional dan tidak adil. Jika kedua prajurit TNI adalah "otak pelaku" atau pihak yang secara langsung menyebabkan kematian, seharusnya tuntutan mereka lebih berat atau setidaknya setara dengan pihak sipil yang dianggap hanya turut serta.
Untuk itu, Aliansi Solidaritas MAF berharap majelis hakim Pengadilan Militer 1-02 Medan dapat menyoroti perkara tersebut dengan cermat dan memberikan keadilan seutuhnya kepada keluarga korban.
Aksi Memanas dan Tangisan Ibu Korban
Aksi unjuk rasa di depan Pengadilan Militer I-02 Medan berlangsung cukup memanas. Prajurit TNI yang berjaga menutup pagar pengadilan, menghalangi massa aksi untuk masuk dan bertemu dengan ketua pengadilan. Adu mulut sempat terjadi, dan Bonaerges bahkan mencoba memanjat pagar, namun aksinya dihadang prajurit TNI.
Di tengah ketegangan itu, Fitriyani (52), ibu dari almarhum MAF, yang sudah berada di dalam gedung pengadilan, keluar dan meminta agar massa aksi diizinkan masuk. Namun, permintaannya ditolak oleh prajurit TNI. Tangis Fitriyani pecah, ia memohon agar teman-teman anaknya diizinkan masuk.
"Pak tolong buka (pagarnya) Pak. Mereka ini anak-anak saya. Tolong saya Pak, anak saya mati, pelakunya hanya divonis 18 bulan, di mana keadilan itu," ungkap Fitriyani, dengan suara bergetar menuntut keadilan bagi putranya.
Belakangan, setelah situasi cukup tegang, perwakilan dari massa aksi, Fitriyani, serta staf KontraS Sumut akhirnya diizinkan masuk ke gedung peradilan untuk bertemu dengan Kepala Pengadilan Militer I-02 Medan, Kolonel Rony Suryandoko. Pertemuan ini diharapkan dapat membawa titik terang dan jaminan keadilan bagi keluarga MAF.
Kasus ini menjadi sorotan tajam terhadap sistem peradilan militer dan urgensi transparansi dalam penanganan kasus yang melibatkan aparat penegak hukum. Masyarakat, terutama keluarga korban, menuntut keadilan yang setimpal atas hilangnya nyawa seorang pelajar.
Baca juga: Terungkap! Polisi Ini Tewas Diduga karena Rayu Cewek Bokingan dari Seniornya
Komentar
0