
Zona Mahasiswa - Sebuah skandal mengejutkan telah mengguncang publik China, memicu badai perdebatan di media sosial dan menimbulkan kekhawatiran serius tentang privasi, kesehatan, dan moralitas. Seorang pria paruh baya, yang diidentifikasi polisi dengan marga Jiao (38 tahun), diduga telah menyamar sebagai perempuan untuk menjebak dan 'memangsa' lebih dari seribu pria dalam hubungan seksual. Yang lebih menghebohkan, pertemuan-pertemuan intim tersebut direkam secara diam-diam dan kemudian disebarkan secara daring, menciptakan krisis kepercayaan dan ketakutan di kalangan masyarakat.
Kasus ini dengan cepat menjadi viral di media sosial Tiongkok. Tagar "Red Uncle" atau "Paman Merah" menduduki posisi teratas tren di platform Weibo pada Selasa (9/7/2025), menarik lebih dari 200 juta tayangan dalam waktu singkat. Warganet ramai mengungkapkan keterkejutan dan keprihatinan mereka atas isu kesehatan masyarakat, pelanggaran privasi massal, dan bahkan pertanyaan tentang kesetiaan dalam rumah tangga yang mungkin terdampak.
Modus Operandi 'Paman Merah': Penyamaran dan Penipuan yang Cerdik
Menurut laporan awal media lokal, Jiao, yang kemudian dijuluki "Paman Merah dari Nanjing", diduga telah menggoda 1.691 pria heteroseksual untuk datang ke rumahnya. Di sana, ia melangsungkan hubungan intim yang kemudian direkam secara diam-diam. Video-video tersebut kemudian ia unggah secara daring, menciptakan sebuah "galeri" gelap yang mengancam privasi para korbannya.
Meskipun laporan awal di media sosial menyebut usia Jiao 60 tahun dan jumlah korban lebih dari seribu, dalam pernyataan resmi yang dirilis polisi distrik Nanjing pada Selasa (9/7/2025), disebutkan bahwa pria itu bermarga Jiao dan berusia 38 tahun. Polisi juga membantah secara spesifik bahwa Jiao berhubungan intim dengan lebih dari 1.000 pria, meskipun mereka tidak menyebutkan jumlah pasti korban yang terlibat.
Modus penyamaran Jiao sangat detail dan canggih. Laporan media China menjelaskan bahwa Jiao mengenakan riasan tebal, wig, dan rok panjang untuk mengubah penampilannya secara drastis. Tak hanya itu, ia juga menirukan suara perempuan untuk lebih meyakinkan para korbannya. Kemampuan penyamaran ini berhasil menipu sebagian besar pria yang menjadi tamunya, meskipun beberapa di antaranya sempat menyadari bahwa Jiao adalah pria yang berdandan sebagai wanita. Namun, detail ini menunjukkan tingkat kecerdasan dan perencanaan yang matang dalam aksi penipuannya.
Kamera Tersembunyi dan Keuntungan Finansial
Investigasi lebih lanjut dari media China mengungkap bahwa Jiao memasang kamera tersembunyi di apartemennya. Rekaman hubungan seksual tersebut kemudian ia bagikan ke sebuah grup daring khusus. Ironisnya, Jiao tidak memungut biaya dari para tamunya yang datang, hanya meminta mereka untuk membawa hadiah kecil seperti susu, buah-buahan, atau bahkan minyak goreng. Namun, ia diduga menerima keuntungan melalui biaya keanggotaan sebesar 150 yuan (sekitar Rp 342.000) per orang dari anggota grup daring yang ingin mengakses video-video tersebut. Ini mengindikasikan bahwa motivasi Jiao bukan hanya semata-mata kepuasan pribadi, melainkan juga keuntungan finansial dari pelanggaran privasi.
Korban Terkuak: Skala Kerusakan Sosial dan Pribadi
Kasus ini menjadi bom waktu ketika beberapa korban dilaporkan mulai mengenali diri mereka sendiri dalam video yang tersebar luas di grup daring tersebut, kemudian melaporkannya ke polisi. Meskipun pihak kepolisian telah memperingatkan publik untuk tidak menyebarluaskan video-video tersebut, gambar wajah para korban tetap beredar luas di dunia maya.
Kondisi ini menyebabkan identitas banyak korban pria terkuak setelah dikenali oleh teman atau anggota keluarga mereka. Kisah-kisah pilu mulai bermunculan:
- Salah satu pria bahkan dikenali oleh ibunya sendiri, yang kemudian mengungkapkan bahwa anaknya adalah seorang guru bahasa Inggris di taman kanak-kanak. Bayangkan kehancuran reputasi dan karier akibat perbuatan ini.
- Seorang perempuan lainnya mengaku menemukan wajah tunangannya dalam koleksi foto yang tersebar, memicu pertanyaan serius tentang kesetiaan dan masa depan hubungan mereka.
Skala penyebaran video dan pengungkapan identitas korban ini menciptakan kekhawatiran publik yang meluas, terutama terkait risiko penyakit menular seksual (PMS). Banyak warganet menyuarakan keprihatinan mereka: "Saya penasaran, berapa banyak perempuan yang jadi korban tidak langsung dari para pria ini," tulis salah satu pengguna media sosial. Komentar lain menambahkan, "Menakutkan karena kita tidak tahu siapa saja di sekitar kita yang pernah jadi tamu Paman Merah." Kekhawatiran ini sangat beralasan, mengingat potensi penularan yang tidak terkontrol dari aktivitas seksual yang tidak terlindungi.
Respon Otoritas dan Implikasi Hukum
Pihak berwenang di Nanjing merespon cepat terhadap kasus ini. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Kota Nanjing pada 8 Juli 2025 menyatakan kepada media China, Jimu News, bahwa pihaknya telah turun tangan. CDC siap memberikan pemeriksaan kesehatan kepada siapa pun yang merasa pernah menjadi kontak erat dengan Jiao atau para korbannya. Namun, mereka menolak mengungkap apakah Jiao menderita penyakit menular, dengan alasan melindungi privasinya. Keputusan ini, meskipun berdasarkan etika medis, mungkin tidak sepenuhnya meredakan kekhawatiran publik.
Saat ini, Jiao telah ditahan atas dugaan menyebarkan konten kotor. Ia belum memberikan komentar secara terbuka terkait kasus ini. Namun, ancaman hukum yang dihadapinya tidaklah ringan. Seorang pengacara yang diwawancarai China Newsweek menjelaskan bahwa berdasarkan hukum pidana China:
- Seseorang yang melakukan hubungan intim tanpa pengaman dengan banyak orang meskipun mengetahui dirinya menderita penyakit menular dapat dikenai hukuman penjara 3 hingga 10 tahun.
- Selain itu, menyebarkan konten kotor dapat dikenakan hukuman hingga dua tahun penjara.
- Jiao juga bisa menghadapi tuntutan atas pelanggaran privasi dan hak potret orang lain, yang dapat menambahkan hukuman pidana dan denda yang signifikan.
Perdebatan Sosial dan Etika Digital
Kasus "Paman Merah" ini tidak hanya memicu masalah hukum dan kesehatan, tetapi juga perdebatan sengit tentang representasi gender di dunia maya dan bahaya "yang gratis itu paling mahal."
Beberapa warganet menyindir bahwa "yang gratis itu justru paling mahal," mengacu pada konsekuensi yang harus ditanggung para pria dan keluarga mereka akibat godaan "hadiah kecil" yang berujung pada pelanggaran privasi dan risiko kesehatan. Ini adalah kritik tajam terhadap perilaku yang mengutamakan kesenangan sesaat tanpa mempertimbangkan risiko jangka panjang.
Awalnya, Jiao menggunakan nama samaran "Kakak Merah." Namun, nama tersebut kemudian diganti menjadi "Paman Merah" setelah banyak pihak menilai nama tersebut menyudutkan perempuan, menyoroti sensitivitas publik terhadap isu gender dan bagaimana penyebutan dapat memengaruhi persepsi.
Skandal ini memaksa masyarakat China untuk merefleksikan kembali tentang keamanan digital, privasi daring, serta etika dalam interaksi personal. Pentingnya verifikasi identitas di dunia maya, bahaya penyebaran konten intim tanpa persetujuan, dan dampak trauma bagi para korban adalah pelajaran pahit yang harus diambil dari kasus "Paman Merah" ini.
Pihak berwenang diharapkan dapat mengusut tuntas kasus ini, memberikan keadilan bagi para korban, dan menerapkan langkah-langkah preventif yang lebih efektif untuk mencegah insiden serupa di masa depan.
Baca juga: Heboh Seorang Pendeta Diduga Cabuli 4 Anak Sopirnya, Hotman Paris Turun Tangan
Komentar
0