Berita

Sempat Diremehkan karena Anak dari Seorang Sopir dan Mantan ART, Perjalanan Lulusan S3 UGM Termuda Ini Jadi Inspirasi Banyak Orang!

Muhammad Fatich Nur Fadli 28 April 2025 | 16:04:53

Zona Mahasiswa - Kadang dunia ini bisa kejam, apalagi ke mimpi anak-anak dari keluarga sederhana. Tapi kalau kamu kenal sosok Dewi Agustiningsih, kamu bakal sadar satu hal: mimpi itu nggak kenal latar belakang.

Lahir di Banyuwangi, 27 Agustus 1998, Dewi tumbuh besar dalam keterbatasan ekonomi. Ayahnya, Pak Suyanto, cuma lulusan SMP yang sehari-hari kerja serabutan jadi sopir. Ibunya, Bu Surahmah, hanya bersekolah sampai SD, lalu pernah jadi asisten rumah tangga sebelum akhirnya fokus mengurus keluarga.

Baca juga: Banyak Pendaki yang Punya Memori dengan Mbok Yem, Pemilik Warung Pecel Termahal di Puncak Lawu

Dari rumah sederhana di Kelurahan Tukangkayu itulah, lahir semangat besar yang akhirnya membawa Dewi meraih gelar doktor di usia super muda, dan menapakkan kaki di salah satu kampus terbaik Indonesia: Institut Teknologi Bandung (ITB).

Gimana sih perjalanan panjang yang penuh air mata, perjuangan, dan keteguhan hati ini? Yuk, ikuti ceritanya!

Dari Rumah Sederhana Menuju Mimpi Besar

Sejak kecil, Dewi sudah akrab dengan keterbatasan. Saat teman-temannya mungkin sibuk les sana-sini, Dewi lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku bekas atau sekadar merenung melihat fenomena alam.

Sains terutama kimia adalah cinta pertamanya. Ia suka bertanya, suka penasaran, dan suka mencoba memahami hal-hal kecil yang terjadi di sekitarnya.

Namun, keterbatasan ekonomi memang nyata. Saat Dewi baru SMP, ayahnya harus pensiun dari pekerjaannya sebagai sopir. Otomatis, keuangan keluarga makin ketat. Dewi paham banget, kalau mau punya masa depan, dia harus berjuang lebih keras.

Dari kecil dia sudah diajarkan satu prinsip sederhana oleh orang tuanya: "Sekolah yang benar, Nak. Biar hidupmu nggak kayak Bapak dan Ibu."

Diremehkan Karena Latar Belakang

Salah satu titik balik terbesar dalam hidup Dewi adalah saat ia mendengar seseorang meremehkan dirinya.

“Anak sopir mana bisa kuliah tinggi-tinggi?” begitu kurang lebih ucapan yang sampai ke telinga Dewi.

Kalimat itu menusuk. Bukan cuma buat Dewi, tapi juga buat kedua orang tuanya. Dewi ingat jelas, bagaimana bapak dan ibunya menangis diam-diam di rumah.

“Mereka merasa bersalah, seolah-olah kemiskinan mereka menahan langkah saya. Tapi di saat itulah, saya bertekad. Saya akan membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang,” kenang Dewi.

Semangat membara itu terus Dewi bawa hingga lulus dari SMAN 1 Glagah tahun 2016.

Awal Perjuangan di UGM: Hidup dengan Rp 5 Ribu Sehari

Selepas SMA, Dewi mendaftar ke Universitas Gadjah Mada (UGM), jurusan Kimia. Ia diterima lewat jalur prestasi dan mendapat beasiswa Bidikmisi.

Namun, realitanya, beasiswa ini hanya mencukupi biaya kuliah dan hidup super hemat. Dewi hanya mendapat Rp 600 ribu per bulan.

Buat kamu yang sekarang mungkin habisin Rp 50 ribu sekali nongkrong, bayangin hidup sebulan dengan Rp 600 ribu: Rp 350 ribu buat kos, Rp 50 ribu buat transportasi, dan Rp 200 ribu untuk makan satu bulan penuh!

Artinya, Dewi harus bertahan dengan sekitar Rp 5 ribu sehari untuk makan.

"Pernah ada masa di mana uang saya tinggal Rp 2 ribu. Saya harus memilih, mau makan atau mau nyetak tugas kuliah," kata Dewi.

Nggak heran, tahun pertama di UGM adalah tahun penuh perjuangan. Tapi bukannya menyerah, Dewi justru makin keras berusaha.

Bekerja Paruh Waktu, Belajar Tanpa Henti

Mulai tahun kedua, Dewi mencari jalan supaya beban ekonomi berkurang.

Ia bekerja paruh waktu:

  • Jadi asisten dosen
     
  • Jadi asisten praktikum di laboratorium kimia
     
  • Mengajar privat untuk anak-anak sekolah
     

Pendapatan tambahan ini membantu banyak. Dewi bisa sedikit lebih lega untuk memenuhi kebutuhan dasar, walaupun tetap harus super hemat.

Dan meski jadwalnya padat, Dewi tetap menjaga prestasi akademiknya tetap gemilang. IPK-nya stabil tinggi, membuat dosen-dosennya memperhatikan bakat besar yang ia miliki.

Kesempatan Emas: Langsung Lanjut S2 dan S3!

Karena prestasinya, Dewi mendapatkan kesempatan langka: masuk program PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul).

Program ini memungkinkan mahasiswa berprestasi langsung lanjut ke S2 dan S3 tanpa harus ikut seleksi terpisah. Dan ya, Dewi termasuk salah satu yang terpilih.

Penelitiannya berfokus pada:

  • Pembuatan material katalis untuk penanggulangan polusi lingkungan
     
  • Sintesis material untuk pengembangan obat-obatan
     

Bayangin, anak sopir dan mantan ART, sekarang meneliti solusi untuk masalah global!

Menembus Jepang: Riset di Hokkaido University

Perjalanan Dewi semakin keren saat ia mendapatkan kesempatan riset satu tahun penuh di Hokkaido University, Jepang.

Di negeri sakura itu, Dewi belajar tentang teknik eksperimental yang jauh lebih canggih, ikut kolaborasi riset internasional, dan melihat bagaimana dunia sains bekerja di level global.

"Di Jepang, saya belajar banyak tentang ketelitian, kedisiplinan, dan pentingnya kolaborasi antar ilmuwan. Itu membuka mata saya bahwa inovasi lahir dari kerja keras dan keberanian berpikir out of the box," ujar Dewi.

Tapi tentu aja, hidup di negeri orang, jauh dari keluarga, bukan hal gampang. Ada banyak malam saat Dewi kangen rumah, kangen masakan ibu, bahkan sekadar kangen obrolan receh dengan teman-teman.

Tapi semua itu ia lewati dengan tekad kuat. Ia tahu, perjuangannya di tanah asing adalah bagian dari perjalanan panjang menuju mimpinya.

Akhirnya, Doktor Termuda dari UGM

Tahun 2025, di usia baru 26 tahun, Dewi Agustiningsih resmi menyelesaikan program doktornya.

Dia bukan hanya lulus, tapi juga jadi salah satu doktor termuda di bidang kimia dari UGM!

Prestasinya langsung menginspirasi banyak orang. Media sosial ramai membicarakan perjalanan hidupnya. Banyak yang kagum, banyak yang terharu, banyak pula yang merasa tertampar karena sadar, "kalau Dewi bisa, kenapa kita enggak?"

Menjadi Dosen di ITB: Mimpi yang Tercapai

Setelah lulus, Dewi nggak butuh waktu lama buat melangkah ke tahap berikutnya. Ia langsung diterima sebagai dosen di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) ITB.

Buat Dewi, ITB adalah tempat yang pas untuk terus bertumbuh.

"Saya ingin terus belajar, meneliti, dan menginspirasi lebih banyak generasi muda untuk percaya pada mimpi mereka, apapun latar belakang mereka," kata Dewi.

Sempat Diremehkan karena Anak dari Seorang Sopir dan Mantan ART, Perjalanan Lulusan S3 UGM Termuda Ini Jadi Inspirasi Banyak Orang!

Kalau kamu tanya ke Dewi, apa yang membuatnya bertahan di tengah semua kesulitan, jawabannya sederhana: keluarga dan mimpi.

"Setiap kali saya merasa lelah, saya ingat wajah bapak dan ibu. Saya ingat semua air mata mereka, semua usaha mereka. Saya ingin membanggakan mereka," ujarnya.

Dewi juga percaya satu hal: pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah nasib. Dan perjuangannya membuktikan, bahwa siapapun bisa melampaui keterbatasan asalkan punya tekad dan kerja keras.

Baca juga: Parama, Anak Umur 7 Tahun Asal Bojonegoro Ini Menang Olimpiade Matematika di Thailand International Mathematics Olympiad (TIMO)

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150