
Zona Mahasiswa - Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, atau yang akrab disapa Tom Lembong, telah divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula tahun 2015-2016. Putusan ini, yang dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (18/7/2025), memicu sorotan tajam karena hakim secara eksplisit menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi. Lantas, apa alasan di balik vonis berat ini jika Tom Lembong tidak terbukti memperkaya diri?
Alasan Hakim: Ketidakcermatan dan Pelanggaran Aturan
Majelis hakim dalam putusannya menguraikan sejumlah pertimbangan yang mendasari vonis tersebut, meskipun mengakui Tom Lembong tidak menikmati keuntungan pribadi dari tindak pidana korupsi. Fokus utama hakim adalah pada perbuatan melawan hukum dan kelalaian dalam menjalankan tugas sebagai Menteri Perdagangan.
Hakim menyoroti bahwa setelah persetujuan impor diberikan kepada delapan pabrik gula swasta, Karyoto Supri selaku Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri melaporkannya kepada Tom Lembong melalui nota dinas. Ini mengindikasikan bahwa Tom Lembong seharusnya memiliki pengetahuan atau setidaknya diberikan informasi mengenai proses dan dampak dari kebijakan impor tersebut.
Poin krusial yang menjadi dasar vonis adalah bahwa pemberian persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) dalam rangka penugasan pada PT PPI (PT Perusahaan Perdagangan Indonesia) dianggap sebagai bentuk ketidakcermatan Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan. Ketidakcermatan ini dilihat dalam konteks menyikapi kondisi kekurangan ketersediaan gula dan harga gula yang tinggi sejak awal tahun 2016.
"Menimbang bahwa setelah pemberian persetujuan impor kepada delapan pabrik gula swasta, Karyoto Supri selaku Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri melaporkannya kepada Terdakwa dengan nota dinas," kata hakim.
Lebih lanjut, hakim menyatakan bahwa Tom Lembong memahami bahwa penerbitan izin impor untuk delapan perusahaan gula rafinasi swasta tersebut melanggar aturan. Namun, meskipun ada pemahaman akan pelanggaran, izin impor tersebut tetap diberikan. Ini menjadi kunci argumen hakim: meskipun tidak ada niat memperkaya diri, tindakan yang melanggar aturan dan menimbulkan kerugian negara tetap merupakan tindak pidana korupsi.
Intinya, dalam perspektif hukum pidana korupsi, tidak semua perbuatan korupsi harus disertai dengan penerimaan atau kenikmatan uang secara langsung oleh pelaku. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang didakwakan terhadap Tom Lembong memang mengatur tentang setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Frasa "memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" menjadi penting. Dalam kasus ini, meskipun Tom Lembong tidak memperkaya diri sendiri, perbuatannya diduga telah memperkaya "orang lain" atau "korporasi" (dalam hal ini delapan pabrik gula swasta) melalui pelanggaran aturan yang merugikan keuangan negara.
Kerugian Negara Akibat Kebijakan yang Keliru
Meskipun Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi, kerugian keuangan negara adalah elemen penting yang harus dibuktikan dalam tindak pidana korupsi. Dalam kasus importasi gula 2015-2016, kebijakan yang dianggap keliru atau melanggar aturan dalam pemberian izin impor tersebut diyakini telah mengakibatkan kerugian negara. Kerugian ini bisa berupa:
- Kehilangan Potensi Penerimaan Negara: Misalnya, dari bea masuk yang tidak maksimal atau penyimpangan dalam sistem kuota.
- Terciptanya Praktik Kartel atau Monopoli Terselubung: Memberikan izin impor yang melanggar aturan kepada delapan perusahaan swasta dapat menciptakan lingkungan pasar yang tidak kompetitif, yang pada akhirnya merugikan konsumen dan negara.
- Dampak pada Petani Gula Lokal: Kebijakan impor yang tidak tepat waktu atau berlebihan dapat menekan harga gula di tingkat petani lokal, sehingga merugikan perekonomian nasional di sektor pertanian.
Hakim menilai bahwa sebagai Menteri Perdagangan, Tom Lembong memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk memastikan kebijakan impor gula berjalan sesuai regulasi dan tidak merugikan negara. Ketidakcermatan dan pembiaran terhadap pelanggaran aturan, meskipun tanpa niat memperkaya diri, dapat dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang yang berujung pada kerugian negara. Ini adalah inti dari "perbuatan melawan hukum" dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.
Implikasi Hukum dan Perdebatan Publik
Vonis Tom Lembong, dengan nuansa bahwa ia tidak menikmati hasil korupsi, memicu perdebatan publik dan pertanyaan mengenai substansi keadilan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
- Perspektif Hukum: Dari sisi hukum, putusan ini menegaskan bahwa tindak pidana korupsi tidak selalu harus diiringi dengan bukti penerimaan uang tunai atau aset oleh terdakwa. Cukup dengan adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dan perbuatan tersebut dilakukan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Ini penting untuk mencegah celah hukum di mana pejabat dapat "mencuci tangan" dari kerugian negara yang disebabkan oleh kebijakan mereka, hanya karena mereka tidak secara langsung menerima aliran dana.
- Perspektif Publik: Di sisi lain, sebagian masyarakat mungkin merasa keadilan kurang tercapai jika terdakwa dihukum berat namun tidak terbukti memperkaya diri. Ini dapat menimbulkan persepsi bahwa hukum terlalu kaku atau bahkan digunakan sebagai alat politik. Pernyataan Anies Baswedan yang "memunculkan keraguan terhadap hukum di Indonesia" mencerminkan pandangan ini.
Kasus Tom Lembong ini menjadi kasus penting yang memberikan pelajaran tentang kompleksitas hukum pidana korupsi. Ini menunjukkan bahwa tanggung jawab seorang pejabat publik sangat besar, dan ketidakcermatan atau pembiaran terhadap pelanggaran aturan dalam mengeluarkan kebijakan yang merugikan negara dapat dikenai sanksi pidana, terlepas dari apakah pejabat tersebut menikmati hasilnya secara langsung.
Vonis ini juga menjadi pengingat bagi seluruh pejabat publik untuk selalu berhati-hati, cermat, dan berpegang teguh pada aturan hukum dalam setiap keputusan yang mereka ambil, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan aset dan keuangan negara. Karena pada akhirnya, kerugian negara yang timbul dari sebuah kebijakan yang keliru, disengaja atau tidak, dapat berujung pada pertanggungjawaban pidana.
Bagaimana menurumu, apakah putusan hakim yang memisahkan antara perbuatan melawan hukum yang merugikan negara dengan kenikmatan hasil korupsi sudah cukup jelas untuk dipahami publik?
Baca juga: Ulama Iran Bikin Sayembara 18,5 Miliar untuk Kepala Trump dan Netanyahu
Komentar
0