
Zona Mahasiswa - Bagi banyak mahasiswa, sidang skripsi seringkali digambarkan sebagai 'gerbang neraka' sebelum akhirnya mencicipi 'surga' kelulusan. Namun, kisah pilu datang dari seorang pemuda berinisial RRM (22), mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya asal Madiun. Ia diduga mengalami tekanan psikologis berat hingga nekat berlari ke tengah rel kereta api di Jembatan Beteng, Madiun, pada Senin (13/10) pagi.
Peristiwa ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan alarm keras tentang kondisi mental health mahasiswa yang seringkali terabaikan di tengah tuntutan akademik.
Baca juga: Viral! Kepsek Tampar Murid Merokok, Ortu Lapor Polisi, 630 Siswa Mogok Sekolah
Lari Sambil Bernyanyi, Kucing Jadi Saksi Bisu
Pagi itu, sekitar pukul 09.30 WIB, suasana Kelurahan Winongo mendadak tegang. RRM, yang dikenal sebagai mahasiswa ITS, tiba-tiba saja keluar rumah, berlari ke arah timur sambil bernyanyi-nyanyi. Ada satu detail yang membuat cerita ini makin menyentuh: ia membawa serta kucing peliharaannya.
Orang tua RRM, AG, panik tak karuan. Teriakan minta tolongnya mengundang perhatian warga sekitar, termasuk seorang sosok heroik, Peltu Karmidi, anggota Koramil Manguharjo, yang kebetulan berada tak jauh dari lokasi.
“Saya jemput dari arah barat. Takutnya dia tertabrak sepur atau loncat ke jurang di jembatan,” tutur Peltu Karmidi, yang tanpa pikir panjang langsung melompat mengejar RRM ke arah rel kereta api.
Rel kereta api, yang seharusnya menjadi jalur aman bagi moda transportasi massal, mendadak menjadi lokasi yang sangat berbahaya bagi RRM.
Aksi Cepat 15 Menit: Heroisme Sang Tentara
Peltu Karmidi menunjukkan kesigapan yang patut diacungi jempol. Ia harus berpacu dengan waktu dan potensi bahaya tertabrak kereta. Proses evakuasi ternyata tidak mudah. RRM sempat melawan, menunjukkan betapa kuatnya tekanan yang sedang ia rasakan.
“Sekitar 15 menit prosesnya. Setelah itu datang ambulans, dia diberi obat penenang,” jelas Karmidi. Bantuan warga sekitar juga sangat menentukan. Saksi mata, Wahono, menceritakan betapa cepatnya kejadian itu berlangsung. “Orang-orang langsung teriak, terus datang bapak-bapak TNI itu. RRM diikat tangannya supaya tidak melawan, lalu dibawa ambulans,” ujar Wahono.
Penyelamatan ini adalah bukti nyata kepedulian sosial yang masih ada, serta betapa krusialnya peran aparat dalam situasi darurat kesehatan mental.
Pemicu Breakdown: Kerasnya Komentar Dosen Penguji
Keterangan dari keluarga membuka tabir penyebab RRM mengambil tindakan nekat itu. Dua hari sebelum kejadian, sepulang salat Jumat, RRM sempat melampiaskan amarahnya dengan membanting laptop dan ponselnya.
Diduga kuat, tekanan psikologis yang ia alami berasal dari sidang skripsi di ITS Surabaya. Menurut keluarga, RRM mendapat komentar keras dari dosen penguji saat ujian. Komentar yang mungkin terasa 'biasa' bagi sebagian orang, ternyata menjadi pemicu breakdown serius bagi RRM.
Jelas sudah, ujian skripsi bukan hanya menguji kemampuan akademik, tetapi juga ketahanan mental mahasiswa.
Sebelum insiden di rel, RRM sempat meminta ayahnya mengantar ke Surabaya pada hari Minggu pagi, namun ditolak karena kondisinya yang belum stabil. Tak lama kemudian, ia nekat menuju rel.
Peltu Karmidi memastikan satu hal: “Jadi bukan upaya bunuh diri, tapi karena depresi berat.” Perbedaan ini penting. Depresi berat adalah kondisi medis yang membutuhkan penanganan, dan tindakan nekat RRM adalah manifestasi dari rasa sakit psikologis yang mendalam, bukan semata-mata keinginan untuk mengakhiri hidup.
Setelah Evakuasi: Support System Adalah Kunci
Saat ini, RRM sudah dalam penanganan serius. Ia berada di bawah pengawasan Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) bersama tim Puskesmas Manguharjo. Rencananya, ia akan dirawat dan mendapat pendampingan di Shelter Dinsos Jalan Srindit.
Langkah cepat Dinsos dan Puskesmas ini menunjukkan pentingnya fasilitas dan dukungan mental health yang memadai. Kasus RRM harus menjadi pengingat bagi kita semua, khususnya institusi pendidikan tinggi: tekanan akademik, terutama saat skripsi, harus diimbangi dengan layanan konseling dan lingkungan yang mendukung.
Pesan untuk Gen Z dan Pejuang Skripsi
Untuk kamu, para pejuang skripsi dan Gen Z yang sedang berjuang meniti karier atau pendidikan, ingatlah:
- Validasi Perasaanmu: Tekanan yang kamu rasakan itu nyata dan valid.
- Cari Support System: Jangan ragu bicara dengan teman, keluarga, atau profesional. Kampus harusnya punya pusat konseling mahasiswa.
- It’s Okay Not to Be Okay: Kegagalan atau kritik keras di sidang skripsi bukanlah akhir dari segalanya. Mental health awareness harus lebih penting dari nilai A.
Kisah RRM berhasil diakhiri dengan penyelamatan berkat aksi cepat seorang tentara dan warga sekitar. Ini adalah ending yang melegakan, namun kasus ini adalah awal dari sebuah diskusi besar: Sudahkah kita cukup peduli terhadap kesehatan mental mahasiswa?
Komentar
0