
Zona Mahasiswa - Di tengah dinamika dunia musik Indonesia yang kian kreatif dan berani menyuarakan kritik, kolektif musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang dikenal dengan nama Sukatani, kembali menjadi perbincangan hangat. Kali ini, band yang identik dengan lirik-lirik kritis dan energi punknya tersebut meminta maaf secara terbuka kepada Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) atas lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”.
Lagu yang sempat viral di media sosial karena mengandung lirik “bayar polisi” tersebut pun kini telah ditarik dari seluruh platform musik digital.
Pendahuluan: Musik Punk sebagai Alat Kritik Sosial
Musik punk di Indonesia selama beberapa dekade terakhir telah dikenal sebagai medium untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap sistem dan kekuasaan. Dengan irama yang keras, lirik yang lugas, dan semangat pemberontak, band-band punk kerap mengkritik berbagai bentuk ketidakadilan, korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan. Sukatani, salah satu kolektif musik punk yang berasal dari Purbalingga, telah lama berkecimpung di dunia musik dengan membawa semangat tersebut. Lagu “Bayar Bayar Bayar” sendiri menjadi salah satu karya mereka yang paling kontroversial karena mengandung pesan yang tajam tentang praktik-praktik korupsi dan pelanggaran di institusi kepolisian.
Kronologi Lagu “Bayar Bayar Bayar” dan Reaksi Publik
Pada awalnya, lagu “Bayar Bayar Bayar” diciptakan sebagai bentuk kritik terhadap oknum kepolisian yang dianggap melanggar aturan dan menyalahgunakan kekuasaannya. Lirik yang menyebut “bayar polisi” dinilai oleh beberapa kalangan sebagai sindiran pedas terhadap praktik korupsi di lingkungan kepolisian. Namun, setelah lagu tersebut mulai menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial, muncul reaksi keras dari masyarakat dan bahkan dari pihak kepolisian.
Sejumlah netizen mengungkapkan kekhawatiran bahwa penggunaan lirik yang begitu eksplisit bisa menimbulkan persepsi negatif terhadap institusi kepolisian secara keseluruhan. Mereka menganggap bahwa meskipun kritik terhadap oknum pelanggar harus disampaikan, namun penyampaian dengan cara yang terlalu provokatif berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Tak hanya itu, pihak Kapolri juga menyatakan bahwa pesan dalam lagu tersebut bisa disalahartikan sebagai ajakan untuk melakukan tindakan kekerasan atau pembalasan secara sepihak terhadap aparat.
Permohonan Maaf dan Penarikan Lagu: Keputusan Kontroversial Sukatani
Menghadapi sorotan publik yang semakin tajam, Sukatani akhirnya mengambil langkah untuk meminta maaf kepada Kapolri. Dalam sebuah video yang diunggah di akun media sosial resmi band, mereka menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. Dalam video tersebut, salah satu gitaris band, Muhammad Syifa Al Ufti alias Electroguy, mengungkapkan bahwa mereka menyadari bahwa lirik “bayar polisi” dapat menimbulkan salah tafsir dan potensi masalah hukum di kemudian hari.
Syifa Al Ufti mengatakan, “Kami tidak bermaksud menyudutkan seluruh aparat, tetapi kami hanya mengkritisi oknum yang melanggar peraturan. Karena apabila ada risiko di kemudian hari, itu sudah bukan tanggung jawab kami dari band Sukatani.”
Selain permohonan maaf tersebut, Sukatani juga mengumumkan bahwa mereka akan menarik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari seluruh platform musik digital. Langkah ini diambil sebagai bentuk tanggung jawab dan keseriusan mereka untuk tidak memperkeruh suasana, sekaligus memberikan ruang bagi klarifikasi yang lebih konstruktif mengenai isu-isu yang mereka angkat.
Latar Belakang Budaya dan Sejarah Musik Punk di Indonesia
Musik punk telah menjadi bagian dari budaya alternatif di Indonesia sejak era 1980-an. Band-band punk, dengan karakteristik liriknya yang anti-otoritas dan vokal yang keras, seringkali menjadi suara bagi generasi muda yang merasa terpinggirkan oleh sistem yang ada. Dalam konteks ini, karya-karya Sukatani memiliki sejarah panjang sebagai medium kritik sosial yang tajam.
Namun, perkembangan teknologi digital dan penyebaran informasi secara instan melalui media sosial membuat pesan yang disampaikan dalam lagu pun lebih cepat menyebar. Hal ini juga menuntut para musisi untuk lebih berhati-hati dalam menyusun lirik, terutama ketika menyentuh isu sensitif yang berkaitan dengan institusi negara seperti kepolisian.
Analisis Kontroversi: Antara Kritik Sosial dan Etika Publik
Banyak pengamat musik dan budaya menilai bahwa penggunaan AI, media sosial, dan teknologi digital kini semakin mengubah cara penyampaian kritik dalam dunia musik. Di satu sisi, teknologi ini memungkinkan band seperti Sukatani untuk menyampaikan pesan mereka dengan cepat ke seluruh penjuru negeri. Di sisi lain, kecepatan penyebaran informasi juga memperbesar kemungkinan pesan yang kontroversial disalahartikan.
Beberapa ahli berpendapat bahwa kritik sosial dalam musik punk seharusnya disampaikan dengan cermat agar tidak menimbulkan persepsi negatif yang berlebihan. Kritik terhadap oknum pelanggar di kepolisian memang penting, namun penyampaiannya harus tetap mempertimbangkan dampak sosial dan hukum. Dengan demikian, keputusan Sukatani untuk menarik lagu tersebut sekaligus meminta maaf bisa dilihat sebagai upaya untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial.
Respons dari Pihak Kapolri dan Masyarakat
Seiring dengan beredarnya permohonan maaf dari Sukatani, pihak Kapolri juga memberikan respons yang bijaksana. Meskipun belum ada pernyataan resmi dari Kapolri mengenai penarikan lagu tersebut, banyak oknum aparat yang mengapresiasi langkah sukarela dari band tersebut untuk menyesuaikan isi pesan demi menjaga keharmonisan dan ketertiban masyarakat.
Di sisi lain, tanggapan masyarakat dan netizen pun beragam. Sebagian mendukung penuh langkah Sukatani sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan keberanian untuk mengakui kesalahan. Ada pula yang menyayangkan bahwa kritisisme terhadap oknum aparat seharusnya tetap dilontarkan, namun dengan cara yang lebih konstruktif tanpa menimbulkan konflik.
Komentar-komentar di media sosial menunjukkan perpecahan pandangan:
- “Kita harus berani mengkritisi, tapi jangan sampai menghasut. Bagus lah kalau mereka minta maaf dan tarik lagunya,” tulis salah satu pengguna Twitter.
- “Sangat disayangkan, sebagai band punk mereka seharusnya bisa menyampaikan kritik dengan cara yang cerdas dan tidak menimbulkan masalah hukum,” komentar seorang netizen di Instagram.
- “Ini adalah pelajaran bahwa kebebasan berekspresi juga harus disertai tanggung jawab,” ujar komentar lain.
Kritisi Oknum Kepolisian yang Melanggar Peraturan, Band Sukatani Minta Maaf ke Kapolri dan Tarik Lagu "Bayar Bayar Bayar"
Artikel ini menguraikan perjalanan kontroversial lagu “Bayar Bayar Bayar” yang diciptakan oleh kolektif musik punk Sukatani dari Purbalingga. Dimulai dari penciptaan lagu yang menyentil oknum kepolisian, hingga viralnya pesan yang memicu reaksi keras dari masyarakat dan aparat. Langkah Sukatani untuk meminta maaf kepada Kapolri dan menarik lagu dari seluruh platform digital menjadi bukti bahwa kebebasan berekspresi harus selalu diimbangi dengan tanggung jawab sosial.
Kritik yang muncul, terutama dari kalangan netizen dan pelaku industri kreatif, menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan melalui lagu tersebut seharusnya disusun dengan cara yang lebih konstruktif. Masyarakat menginginkan karya seni yang tidak hanya cepat menyampaikan pesan, tetapi juga mencerminkan kekayaan budaya lokal dan memiliki nilai estetika tinggi.
Komentar
0