
Zona Mahasiswa - Wacana mengenai kemungkinan pengenaan pajak terhadap amplop kondangan atau hajatan tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Isu ini mencuat setelah Mufti Anam, anggota Komisi VI DPR RI, menyoroti semakin banyaknya sektor usaha yang dikenakan pajak oleh pemerintah. Ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait potensi hilangnya pemasukan negara akibat kebijakan fiskal tertentu, yang pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mencari sumber pendapatan baru.
Baca juga: Cerita Mahasiswi Cantik di Makassar yang Mengaku Sering 'Dibo*k!ng' Kades Tiap Dana Desa Cair
Kekhawatiran Anggota DPR: Defisit Anggaran dan Sumber Pajak Baru
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi VI DPR dengan Danareksa dan Kementerian BUMN, Mufti Anam menyampaikan pandangannya. Ia secara khusus menyoroti keputusan pengalihan dividen BUMN ke Danareksa. Menurut Mufti, langkah ini berpotensi membuat negara kehilangan pemasukan langsung, sehingga Kementerian Keuangan harus berupaya mencari cara lain untuk menutup defisit anggaran.
"Pengalihan dividen BUMN ke Danareksa membuat negara kehilangan pemasukan, sehingga Kementerian Keuangan harus mencari cara lain untuk menutup defisit," kata Mufti Anam.
Di tengah situasi ini, Mufti mengaku mendengar kabar yang cukup mengejutkan, yaitu adanya rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada amplop kondangan atau hajatan. Meskipun belum ada penjelasan resmi atau detail mengenai rencana ini dari pihak pemerintah, isu ini sontak memicu beragam reaksi di kalangan masyarakat.
Harapan pada Optimalisasi Pengelolaan Dividen
Mufti Anam berharap agar pengelolaan dividen yang kini sudah dialihkan ke Danareksa dapat berjalan optimal dan benar-benar efektif. Pasalnya, dampak dari pengelolaan dividen ini sangat besar terhadap penerimaan negara dan kebijakan fiskal yang pada akhirnya akan menyentuh langsung masyarakat. Jika pengelolaan dividen tidak optimal, maka tekanan untuk mencari sumber pendapatan lain, termasuk melalui pajak-pajak baru yang mungkin dirasakan memberatkan masyarakat, akan semakin besar.
Pajak amplop kondangan, jika benar-benar diterapkan, akan menjadi salah satu bentuk pajak yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini tentu akan menimbulkan banyak pertanyaan dan potensi pro-kontra di tengah publik. Kebijakan perpajakan yang menyentuh ranah sosial dan budaya seperti "kondangan" membutuhkan kajian yang sangat mendalam, serta komunikasi publik yang transparan dan persuasif dari pemerintah.
Antara Kebutuhan Penerimaan dan Sensitivitas Sosial
Wacana pajak amplop kondangan ini mencerminkan dilema yang dihadapi pemerintah: di satu sisi, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan penerimaan negara demi membiayai pembangunan dan layanan publik; di sisi lain, ada batasan pada kemampuan daya beli masyarakat dan sensitivitas sosial-budaya yang tidak boleh diabaikan.
Pengenaan pajak pada hal-hal yang bersifat sosial dan budaya seperti amplop kondangan bisa menjadi bumerang jika tidak dikaji dengan matang. Kondangan, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga bentuk silaturahmi, solidaritas sosial, dan bahkan tradisi saling membantu. Mengutip pemasukan dari tradisi ini bisa dianggap mengkomersialkan aspek sosial yang sakral dan membebani masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil.
Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai opsi lain untuk meningkatkan penerimaan negara yang tidak memberatkan masyarakat secara luas, atau setidaknya dengan dampak sosial yang lebih minimal. Diskusi ini juga seharusnya melibatkan partisipasi publik dan para ahli agar kebijakan fiskal yang diambil tidak hanya efektif dalam meningkatkan pendapatan, tetapi juga adil dan diterima oleh masyarakat. Isu ini akan terus menjadi sorotan sampai ada kejelasan resmi dari pihak berwenang.
Baca juga: Binatang! Di Tengah Suasana Duka Kematian Ibu Korban, Pria di Kota Batu Cabuli Keponakannya
Komentar
0