
Zona Mahasiswa - Di balik lebatnya Hutan Klasow di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, terdapat sebuah kampung kecil yang telah menjadi simbol perjuangan masyarakat adat dalam menjaga kelestarian alam. Namanya Malagufuk, kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya yang terdiri dari lima kampung adat suku Moi Kelim, yakni Malaumkarta, Suatolo, Sawatuk, Mibi, dan Malagufuk sendiri.
Baca juga: Ngaku Dapat Bisikan Ghaib, Mahasiswa Unram Nyamar Jadi Jamaah Perempuan di Masjid
Meski tergolong muda, semangat warga Malagufuk untuk menjaga alam tak bisa dianggap remeh. Mereka memilih untuk menjaga rumah cenderawasih, bukan menggantinya dengan kebun kelapa sawit.
Hutan Adalah "Tam Sini"
Bagi masyarakat adat Moi, hutan adalah "tam sini", yang berarti hutan adalah ibu atau mama. Dalam pandangan mereka, hutan adalah pemberi kehidupan—tempat untuk mencari makanan, meracik obat tradisional, dan mengambil kayu secukupnya untuk membangun rumah, sekolah, atau gereja. Sebagai ibu, hutan harus dihormati dan dilestarikan, bukan dieksploitasi.
Kearifan ini diwariskan secara turun-temurun. Anak-anak Moi diajarkan sejak kecil bahwa menjaga hutan adalah tanggung jawab moral, sama seperti yang dilakukan oleh orang tua mereka. Nilai-nilai ini yang menjadi dasar kuat mengapa masyarakat Malagufuk begitu gigih melindungi hutan mereka.
Jalan Hidup: Ekowisata
Masyarakat Malagufuk, khususnya marga Kalami dan Magablo, memilih jalan hidup yang tak biasa—ekowisata. Mereka menyadari bahwa keseimbangan antara ekonomi dan ekologi adalah kunci untuk mempertahankan kehidupan mereka. Di tengah gempuran ekspansi industri, terutama kelapa sawit, masyarakat Malagufuk bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi.
Ekowisata yang mereka jalankan bukan sekadar memamerkan keindahan hutan. Ini adalah gerakan pelestarian, di mana pengunjung diajak menyaksikan langsung harmoni antara manusia dan alam. Salah satu daya tarik utama adalah birdwatching atau pengamatan burung, terutama burung cenderawasih yang menjadi ikon Papua.
Malagufuk: Kampung yang Tersembunyi
Berbeda dengan kampung-kampung tetangga yang berada di pesisir, Malagufuk tersembunyi di balik lebatnya hutan. Lokasinya berada di sisi selatan jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari, dan tidak terlihat langsung dari jalan utama. Untuk mencapainya, pengunjung harus berjalan kaki sejauh 3,5 kilometer dari tepi hutan. Perjalanan ini terdiri dari 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter dan sisanya melewati jalan tanah.
Jembatan kayu ini bukan sembarangan. Dibuat dari kayu besi (merbau) dan memakan waktu pengerjaan hingga 17 bulan, jembatan ini tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pembangunannya didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sorong di bawah kepemimpinan Bupati Johny Kamuru. Uniknya, papan kayunya tidak diambil dari hutan Malagufuk, melainkan dari hutan lain, demi menjaga kelestarian lingkungan sekitar.
Memasuki Dunia yang Berbeda
Begitu melangkahkan kaki di jembatan tersebut, nuansa berbeda langsung terasa. Suara bising kendaraan tergantikan oleh kicauan burung dan suara serangga. Vegetasi tropis yang rimbun menyambut setiap langkah, memberi kesan seolah-olah kita masuk ke dimensi lain. Di sepanjang perjalanan, pengunjung juga melewati beberapa aliran kali jernih yang bisa digunakan untuk membasuh muka atau sekadar beristirahat sejenak.
Setibanya di ujung jembatan, pengunjung akan disambut gapura besar dari batang pohon bertuliskan "Eco Village Malagufuk" dan ukiran cenderawasih kuning-kecil. Terdapat pula papan informasi mengenai potensi burung cenderawasih dan larangan berburu liar serta perusakan hutan. Ini adalah bentuk pernyataan tegas bahwa Malagufuk adalah kampung pelestari, bukan perusak.
Dari Bukan Siapa-Siapa Menjadi Sorotan Dunia
Perjalanan Malagufuk menuju panggung dunia tidak terjadi secara instan. Semuanya dimulai pada akhir 2014 ketika Charles Roring, seorang pemandu wisata birdwatching asal Manado, datang membawa tamu dari Eropa. Saat itu, Malagufuk belum memiliki fasilitas apa-apa. Rumah panggung belum ada, penginapan apalagi. Warga masih tinggal di tenda-tenda terpal di pinggir hutan.
Namun sejak kedatangan pertama itu, perlahan Malagufuk mulai dikenal dunia. Titik baliknya terjadi ketika seorang jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP) datang meliput tentang potensi ekowisata dan ancaman deforestasi akibat ekspansi kelapa sawit. Foto-fotonya tersebar luas, membuka mata dunia akan pentingnya menjaga hutan Malagufuk.
Charles pun tak berhenti di situ. Melalui blog pribadinya, wildlifepapua.com, ia rutin menulis tentang pengalamannya memandu tur ekowisata di Papua. Banyak pengamat burung dari berbagai negara akhirnya datang karena membaca blog tersebut. Lambat laun, kesadaran akan pentingnya menjaga Hutan Klasow pun tumbuh di antara masyarakat Moi dan pemerintah setempat.
Pembinaan dan Kemandirian
Sebagai bentuk tanggung jawab moral, Charles terus mendampingi masyarakat Malagufuk, terutama anak-anak muda. Ia mengajari mereka cara memandu tamu, melayani wisatawan, hingga memetakan lokasi burung dan satwa endemis lainnya. Kini, manajemen ekowisata di Malagufuk dijalankan langsung oleh warga lokal.
Anak-anak muda seperti Gustap dan Lamber, misalnya, kini berperan sebagai pemandu dan porter profesional. Mereka tidak hanya memahami jalur-jalur di hutan, tetapi juga fasih menjelaskan informasi tentang burung dan satwa lainnya dalam bahasa Inggris. Ini adalah buah dari pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan.
Ekowisata yang Memberdayakan
Ekowisata di Malagufuk bukan hanya soal pelestarian alam, tetapi juga pemberdayaan ekonomi. Dengan menjadi destinasi wisata birdwatching, masyarakat memiliki sumber penghasilan baru tanpa harus merusak hutan. Para mama memasak untuk tamu, bapak menjadi porter dan pemandu, sementara anak-anak muda belajar menjadi perekam suara burung atau fotografer alam.
Keuntungan dari ekowisata digunakan untuk membangun fasilitas kampung, seperti dapur umum, pondok tamu, hingga jaringan komunikasi. Menara BTS yang berdiri di ujung kampung, misalnya, merupakan hasil kerja sama dengan program BAKTI Kominfo. Berkat menara tersebut, sinyal internet kini bisa dinikmati oleh warga Malagufuk.
Ekowisata Malagufuk Sorong Papua Barat Jaga Rumah Cendrawasih Bukan "Cendrasawit"
Kampung Malagufuk telah menjadi simbol perlawanan terhadap ekspansi industri kelapa sawit. Masyarakatnya memilih menjaga "rumah" bagi burung cenderawasih daripada menukar hutan mereka dengan kebun sawit. Mereka sadar bahwa hutan yang rusak tak akan kembali, dan satwa endemis yang hilang tak bisa diganti.
Keberhasilan Malagufuk adalah bukti bahwa pariwisata tak harus merusak. Dengan pendekatan yang tepat, masyarakat bisa tetap hidup sejahtera tanpa harus menghancurkan alam. Mereka membuktikan bahwa pelestarian lingkungan dan pembangunan ekonomi bisa berjalan berdampingan.
Kini, Malagufuk tak lagi sekadar kampung kecil di tengah hutan. Ia adalah rumah bagi cenderawasih, laboratorium hidup bagi para peneliti, dan tempat belajar bagi siapa saja yang ingin tahu bagaimana manusia bisa hidup selaras dengan alam.
Baca juga: Ternyata Karakter Nurman di Film Jumbo Bentuk Penghormatan Sang Sutradara untuk Mahar Laskar Pelangi
Komentar
0