Zona Mahasiswa - Penanganan kasus dugaan penganiayaan yang dilakukan anak bos toko roti terhadap seorang karyawati di Jakarta Timur menjadi sorotan hangat. Kasus ini baru diproses serius setelah viral di media sosial, memunculkan pertanyaan besar dari masyarakat dan anggota DPR RI: Apakah keadilan hanya berlaku setelah viral?
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI, anggota dewan dengan tegas menyampaikan kritik terhadap penanganan lambat oleh Polres Metro Jakarta Timur. Menurut mereka, kasus seperti ini seharusnya dapat ditangani lebih cepat, terutama karena sudah ada bukti fisik, saksi, dan lokasi kejadian (TKP) yang jelas.
Hal ini dia sampaikan dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI dengan Kapolres Metro Jakarta Timur bersama korban DAD, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Timur, pada Selasa (17/12/2024).
“Saya tadi lihat hampir satu bulan itu penangkapannya, itu pun setelah viral. Nah ini dari catatan juga seharusnya itu bisa lebih cepat lagi ya. Sampai muncul di media itu no viral no justice, no viral no attention no justice. Viral dulu baru kemudian cepat geraknya,” katanya.
Rikwanto turut menyebut bahwa kasus ini menjadi pembelajaran pula bagi kepolisian di tempat manapun, bahwa dalam menangani kasus apapun dengan siapapun pelapornya itu memiliki perlakuan yang sama di muka hukum.
Kendati demikian, Legislator Golkar ini juga mengapresiasi Polres Jakarta Timur yang akhirnya bisa menangkap pelaku. Namun, dia mengingatkan untuk melakukan observasi terlebih dahulu terhadap pelaku, jangan menerima informasi secara mentah.
Senada dengan Rikwanto, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Martin Tumbelaka turut berpendapat bahwa kasus di Jakarta Timur ini sebenarnya sudah sangat jelas dan transparan, tetapi proses dan penangkapan pelaku dianggap terlalu lama. “Bahkan kawan kami tadi menyampaikan bahwa ini setelah viral baru diproses. Itu yang kami sayangkan Pak Kapolres.
Jangan menunggu viral dulu, pak,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Diharapkan Rikwanto, polisi sebaiknya bisa “jemput bola” jika ada suatu kasus, supaya masyarakat merasakan adanya perhatian dan keadilan, terutama korban.
Awal Mula Kasus: Korban Bicara, Pelaku Bebas
Kasus ini bermula dari laporan seorang karyawati yang diduga mengalami penganiayaan oleh anak bos toko roti tempatnya bekerja. Bukti yang ada cukup kuat: luka-luka pada tubuh korban, barang bukti yang menguatkan penganiayaan, dan saksi mata yang melihat kejadian. Namun, kasus ini terkesan berjalan di tempat selama hampir dua bulan.
Baru setelah korban berani bersuara dan kasus ini viral di media sosial, pihak kepolisian mulai bergerak cepat menangkap pelaku. Hal ini menuai kritik tajam, baik dari masyarakat maupun DPR, karena menimbulkan kesan bahwa keadilan harus menunggu perhatian publik terlebih dahulu.
Kritik DPR: Jangan Tunggu Viral untuk Bertindak
Dalam rapat yang diadakan pada Selasa (17/12/2024) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Timur, beberapa anggota Komisi III DPR RI menyoroti lambannya penanganan kasus ini. Salah satu kritik disampaikan oleh Irjen (Purn) Rikwanto, anggota DPR RI dari Fraksi Golkar.
"Saya lihat hampir satu bulan baru ada penangkapan, itu pun setelah viral," ujar Rikwanto. Ia menambahkan bahwa kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi kepolisian di mana pun untuk memberikan perlakuan yang adil kepada setiap pelapor, tanpa melihat status sosial maupun sorotan media.
Senada dengan Rikwanto, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Martin Tumbelaka, juga menyampaikan hal serupa. Ia menyayangkan proses penanganan kasus yang memakan waktu terlalu lama, padahal bukti yang ada sudah sangat jelas.
"Jangan menunggu viral dulu baru diproses," ujar Martin, mengingatkan Polres Jakarta Timur agar tidak mengulangi kesalahan serupa di masa depan.
No Viral, No Justice? Keadilan di Era Media Sosial
Kasus ini menjadi refleksi nyata bagaimana kekuatan media sosial mampu mempengaruhi jalannya hukum di Indonesia. Frasa "no viral, no justice" pun muncul sebagai bentuk sindiran dari publik yang merasa bahwa perhatian hukum baru akan datang jika suatu kasus mendapat sorotan besar di media.
Fenomena ini mengungkap beberapa masalah mendasar dalam sistem penegakan hukum:
- Kesenjangan Perlakuan: Kasus dengan sorotan publik tinggi cenderung ditangani lebih cepat daripada kasus biasa.
- Kurangnya Kepercayaan Masyarakat: Publik merasa harus menggunakan media sosial sebagai "alat pemaksa" agar polisi bertindak.
- Minimnya Jemput Bola: Banyak kasus yang sebenarnya bisa langsung diusut tanpa perlu menunggu laporan meluas, tetapi justru terabaikan.
Kapolres dan Langkah Perbaikan
Dalam rapat tersebut, Kapolres Metro Jakarta Timur menyampaikan tanggapannya terhadap kritik yang dilontarkan. Ia mengakui bahwa ada kekurangan dalam penanganan awal kasus ini dan berkomitmen untuk memperbaiki prosedur kerja ke depannya.
Kapolres juga menyampaikan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi adalah memastikan semua informasi yang diterima dari korban dan pelaku harus melalui proses verifikasi menyeluruh. Hal ini penting untuk memastikan keadilan, terutama karena ada beberapa laporan yang bisa saja tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.
Kritik dan Apresiasi untuk Polres Jakarta Timur
Meski penanganan awal kasus ini mendapat kritik, DPR juga memberikan apresiasi kepada Polres Jakarta Timur atas keberhasilannya menangkap pelaku setelah kasus ini viral. Namun, mereka mengingatkan agar polisi tidak menerima informasi secara mentah-mentah dan tetap melakukan observasi mendalam sebelum mengambil langkah lebih jauh.
"Jangan sampai tindakan gegabah mengganggu proses penegakan hukum. Tapi di sisi lain, jangan terlalu lama juga. Keadilan itu harus cepat dan tepat," tambah Rikwanto.
Dampak Bagi Korban: Trauma yang Mendalam
Bagi korban, penanganan lambat seperti ini tidak hanya menyakitkan secara fisik tetapi juga menambah trauma psikologis. Selama hampir dua bulan tanpa kejelasan, korban harus berjuang melawan rasa takut, tekanan sosial, dan keraguan apakah ia akan mendapatkan keadilan.
Penanganan kasus yang cepat bukan hanya soal memenuhi prosedur hukum, tetapi juga memberikan rasa aman dan keadilan kepada korban.
Pesan DPR: Polisi Harus Jemput Bola
Kasus ini memunculkan harapan dari DPR agar polisi dapat jemput bola ketika menerima laporan kasus, terutama yang melibatkan dugaan kekerasan atau pelanggaran berat lainnya. DPR mengingatkan bahwa setiap pelapor, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi, berhak mendapatkan perhatian yang sama.
"Polisi harus hadir untuk melindungi masyarakat, bukan hanya bergerak jika ada tekanan publik," tegas Martin Tumbelaka.
Harapan ke Depan: Keadilan Tanpa Viral
Kasus anak bos toko roti ini menjadi peringatan bagi semua pihak bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada popularitas kasus. Setiap laporan harus ditangani dengan serius dan cepat, tanpa memandang siapa korban atau pelakunya.
Media sosial memang memiliki kekuatan besar untuk memberikan tekanan, tetapi penegakan hukum seharusnya tidak membutuhkan paksaan semacam itu. Dengan perbaikan sistem dan komitmen untuk memberikan perlakuan yang setara kepada setiap kasus, diharapkan kasus serupa tidak akan terulang lagi.
DPR Soroti Penanganan Kasus Anak Bos Toko Roti: Apa Viral Dulu Baru Cepet Penanganannya?
Kasus dugaan penganiayaan oleh anak bos toko roti ini membuka mata kita semua tentang pentingnya keadilan yang cepat, tepat, dan merata. DPR telah menyampaikan kritiknya, masyarakat telah bersuara, dan polisi telah bertindak. Namun, perjuangan untuk sistem hukum yang lebih baik masih panjang.
Sebagai generasi muda, mari kita terus mengawal isu-isu seperti ini. Jangan takut untuk bersuara ketika ada ketidakadilan, karena suara kita adalah langkah awal menuju perubahan. Ingat, keadilan itu hak semua orang, bukan hak mereka yang viral saja.
Komentar
0