
Zona Mahasiswa - Agak lain memang kasus enam polisi positif narkoba di Kalimantan Selatan ini. Diketahui dari berbagai media bukan hukuman pidana yang mereka terima, keenam polisi ini malah cuman dihukum dengan sholat lima waktu.
Baca juga: Sampai Ricuh! 25 Ribu Pencari Kerja Membeludak di Job Fair Bekasi
Kamu pasti kaget baca berita ini: enam polisi di Kalimantan Selatan yang ketahuan positif narkoba justru "dihukum" hanya dengan sholat lima waktu di mushola. Yap, bukan dipenjara, bukan dipecat langsung, tapi disuruh sholat selama 14 hari. Dan menurut Kapolres Hulu Sungai Tengah (HST), ini adalah bentuk pembinaan sambil nunggu proses hukum.
Kronologi Kejadian
Kejadian ini terjadi di wilayah hukum Polres Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan. Enam polisi yang bertugas di sana diketahui positif menggunakan narkoba berdasarkan hasil tes urine. Tapi alih-alih langsung diambil tindakan hukum tegas, mereka malah hanya dikenai sanksi berupa sholat lima waktu di mushola Mapolres.
Kapolres HST, AKBP Jupri Tampubolon, menjelaskan bahwa ini bukan akhir dari hukuman yang akan mereka terima. Menurutnya, pembinaan spiritual ini adalah langkah sementara sambil menunggu hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan tahapan pemberkasan lainnya.
Apa Kata Kapolres?
Dalam wawancaranya, AKBP Jupri menjelaskan, “Saya tidak ingin mereka pulang ke rumah dan malah bisa mengulangi lagi. Jadi kita bina mereka di sini. Sholat lima waktu, olahraga, dan kita pantau terus secara fisik dan mental.”
Menurutnya, ini adalah bentuk inovasi pembinaan yang belum tentu akan jadi sanksi akhir. Dia menyebutkan bahwa ada tahapan disiplin dan kode etik yang harus dilewati dulu. Kalau mereka terbukti melanggar kode etik Polri, bukan tidak mungkin sanksi berat seperti pemecatan juga bakal dijatuhkan.
Dia mencontohkan kasus sebelumnya, yakni Bhabinkamtibmas dari Polsek Limpasu berinisial MD, yang ditangkap oleh Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) dan Polda Kalsel. Polisi ini akhirnya dipecat tidak hormat karena terbukti menyalahgunakan narkoba.
Reaksi Publik
Berita ini langsung ramai dibahas di media sosial. Banyak netizen yang merasa heran dan kecewa dengan perlakuan ini. Beberapa komentar menyebutkan bahwa hukum di Indonesia memang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kenapa warga sipil bisa langsung ditangkap dan dihukum, sementara oknum polisi malah diberi ruang pembinaan?
Bahkan beberapa warganet mempertanyakan: kalau pelaku bukan aparat, apakah mungkin bisa dapet "kesempatan" untuk sekadar sholat lima waktu di mushola sambil menunggu proses hukum?
Sudut Pandang Hukum
Kalau kita melihat dari sisi hukum, pelanggaran penyalahgunaan narkoba jelas masuk ke ranah pidana. Apalagi kalau pelakunya aparat yang seharusnya jadi garda terdepan memberantas penyalahgunaan narkoba. Pasal 112 dan 127 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa pengguna narkoba bisa dihukum pidana penjara.
Namun, dalam institusi kepolisian, ada juga kode etik dan aturan disiplin internal yang mengatur bagaimana sanksi diberikan sebelum proses hukum selesai. Biasanya, kalau pelanggaran termasuk ringan atau masih tahap awal, bisa saja pelakunya dibina dulu sebelum diproses lebih lanjut. Tapi, tetap saja publik menuntut keadilan dan transparansi.
Apakah Ini Efektif?
Pertanyaan besarnya: apakah metode pembinaan spiritual seperti ini benar-benar efektif? Beberapa ahli menyebutkan bahwa pembinaan mental dan spiritual memang bisa jadi bagian dari rehabilitasi, apalagi kalau pelanggar memang berniat untuk berubah. Tapi tetap harus ada kepastian hukum agar tidak menimbulkan asumsi diskriminatif di masyarakat.
Tanpa proses hukum yang jelas, metode ini bisa dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap sesama aparat. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakat luas.
Transparansi dan Akuntabilitas
Kapolres HST sudah menyatakan bahwa mereka tetap akan menunggu hasil pemeriksaan dan tidak menutup kemungkinan sanksi lebih tegas akan dijatuhkan. Tapi tentu masyarakat juga butuh kepastian bahwa proses itu memang sedang berjalan, bukan sekadar wacana.
Dalam hal ini, publik perlu dilibatkan dalam bentuk laporan perkembangan kasus. Setidaknya, media bisa menjadi jembatan transparansi agar kepercayaan terhadap institusi kepolisian tetap terjaga.
Perlu Revisi Sistem Internal?
Kasus ini membuka wacana baru bahwa sistem pembinaan internal di tubuh Polri mungkin perlu direvisi. Apakah sanksi moral seperti sholat lima waktu cukup untuk menanggulangi pelanggaran berat seperti penyalahgunaan narkoba?
Banyak yang menyarankan bahwa harus ada standardisasi sanksi yang lebih tegas dan berlaku adil bagi semua, tanpa memandang status sebagai aparat atau masyarakat biasa. Jika tidak, akan ada kesan bahwa hukum bisa dibelokkan sesuai siapa pelakunya.
Pesan untuk Mahasiswa dan Anak Muda
Buat kamu yang lagi kuliah atau masih muda, kasus ini bisa jadi pelajaran penting. Pertama, jangan pernah coba-coba sama narkoba, apapun alasannya. Kedua, kritis terhadap kebijakan yang dirasa nggak adil itu penting, tapi tetap harus dilandasi dengan pemahaman hukum dan logika sehat.
Kamu juga bisa ikut aktif mendorong transparansi dengan menyuarakan pendapatmu di media sosial atau forum kampus. Perubahan sering kali dimulai dari suara-suara kecil yang konsisten menyuarakan kebenaran.
Begini Faktanya! 6 Polisi di Kalimantan Positif Narkoba Cuman Dihukum Salat di Mushola, Kapolres: Saya yang Awasi
Kasus enam polisi di Kalimantan Selatan yang dihukum dengan sholat lima waktu karena positif narkoba ini memang bikin banyak orang garuk-garuk kepala. Tapi di balik itu semua, kita sebagai masyarakat, terutama generasi muda, punya peran penting untuk memastikan bahwa keadilan tetap ditegakkan.
Kapolres HST mungkin punya niat baik untuk melakukan pembinaan spiritual. Tapi tetap saja, hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Semoga saja ini jadi titik awal perubahan sistem yang lebih tegas dan adil, baik bagi aparat maupun rakyat biasa.
Komentar
0