
Zona Mahasiswa - Kasus pendidikan dan latihan (Diklat) di lembaga perguruan tinggi yang berujung tewasnya mahasiswa peserta, lagi-lagi terjadi.
Kali ini, tragedi tersebut menimpa Unit Kegiatan Mahasiswa Ekonomi Pecinta Lingkungan (Mahepel) Universitas Lampung (Unila), dan mengakibatkan satu mahasiswa, Pratama Wijaya Kusuma, meregang nyawa, serta seorang peserta lainnya, Muhammad Arnando Al Faaris, mengalami kekerasan fisik.
Baca juga: Anggota DPR Geram dengan Pelayanan BPJS di RS, Pasien Opname Belum Sembuh Sudah Dipaksa Pulang
Kuasa hukum Faaris, Yosef Friadi, mengungkapkan bahwa penganaaiyaan terhadap para peserta diduga dilakukan oleh sejumlah senior Mahepel, baik yang masih aktif sebagai mahasiswa maupun yang sudah menjadi alumni. Berdasarkan pengakuan Faaris, alasan para senior melakukan kekerasan tersebut adalah untuk “melatih mental” peserta agar siap menghadapi kerasnya alam.
“Dalih yang disampaikan panitia adalah pembentukan mental karena alam dianggap sekeras itu. Tapi faktanya, klien kami justru menjadi korban kekerasan,” ujar Yosef, dikutip dari kanal YouTube tvOne, Minggu (1/6/2025).
Tragedi ini baru terungkap belakangan, meski kegiatan diksar sendiri telah dilaksanakan pada 10–11 November 2024. Menurut Yosef, korban Pratama sempat mengalami sakit serius pasca diksar dan akhirnya meninggal dunia pada 28 April 2025. Diagnosa medis menunjukkan adanya penggumpalan d4rah di kepala dan l3b4m di tubuhnya, yang mengindikasikan bekas kekerasan.
Bermula saat Ikuti Diksar
Kejadian ini bermula ketika Pratama dan lima rekannya menjadi peserta diksar yang diadakan organisasi Mahasiswa Ekonomi Pecinta Alam (Mahepel) Unila pada 10 - 14 November 2024 di kaki Gunung Betung, Desa Talang Mulya, Kabupaten Pesawaran.
Keenam peserta diminta panitia berjalan membawa tas keril besar ke kaki Gunung Betung.
Tiba di lokasi, para peserta diminta menandatangani surat pernyataan bahwa mereka mengikuti diksar tanpa paksaan.
Mendapatkan Kekerasan
Dalam proses diksar di kaki Gunung Betung, para peserta dilatih oleh senior-seniornya bagaikan anggota militer, bahkan lebih.
Selain disuruh merangkak di lumpur, para peserta juga ditendang, ditampar, dan ditonjok.
”Bahkan, almarhum Pratama ini sampai meminum spritus saking kehausan karena tidak dikasih minum dan makan. Peserta makan seadanya dari bahan-bahan yang tersedia di alam,” kata Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB Unila Muhammad Effan Ananta saat dihubungi dari Padang, Sabtu (31/5/2025).
Pingsan dan Luka-luka
Sepulang dari diksar pada 14 November malam, lanjut Effan, almarhum Pratama pingsan setibanya di rumah. Ia sakit-sakitan dengan kondisi badan penuh memar dan luka.
Almarhum dibawa berobat ke rumah sakit, lalu ditemukan gumpalan darah pada otak
”Almarhum ini selama November-April sakit-sakitan dan tidak bisa kuliah seusai mengikuti diksar. Cerita dari orang tuanya, almarhum sempat dioperasi terkait gumpalan darah di otaknya. Akhirnya, almarhum meninggal 28 April,” ujar Effan.
Korban Lainnya
Selain almarhum Pratama, kata Effan, ada pula korban lain yang menderita cedera fisik diduga akibat penganiayaan itu, salah satunya Muhammad Arnando Al Faaris yang mengalami pecah gendang telinga.
”Gendang telinganya pecah akibat ditampar saking kerasnya oleh salah satu alumni yang hadir saat diksar,” katanya.
Effan menyayangkan sikap dekanat yang dirasa menyepelekan kasus ini.
Dekanat terkesan menutup-nutupi kasus dengan meminta para korban membuat surat pernyataan tidak akan mengusut dan bercerita soal kasus ini serta sukarela mengikuti diksar.
”Dekanat tidak memberikan tindakan tegas kepada organisasi mahasiswa ini (Mahepel Unila). Hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan perbuatan pelaku, cuma membersihkan embung Unila,” katanya.
Menurut Effan, aliansi mahasiswa FEB Unila sempat berunjuk rasa ke dekanat pada 26 Mei, tetapi tidak mendapat respons positif dari dekan.
Bahkan, dekan menyebut mahasiswa tidak berhak mendikte. Dua hari kemudian, aliansi mahasiswa berunjuk rasa ke rektorat.
”Rektor turun langsung menemui kami dan berjanji melakukan investigasi secara cepat dan transparan,” katanya.
Dalam aksi tersebut, massa juga meminta rektorat menjamin bahwa mahasiswa yang ikut demonstrasi tidak dikurangi nilainya oleh dosen yang tidak senang.
Tanggapan Dekanat
Secara terpisah, Dekan FEB Unila Nairobi menjelaskan, pada November 2024, organisasi Mahepel Unila meminta izin kepada wakil dekan tiga untuk mengadakan diksar calon anggota baru.
Dekanat pun mewanti-wanti agar panitia tidak melakukan perpeloncoan dan sejenisnya.
Dekanat dan Rektorat akan membentuk tim investigasi untuk mendalami kasus kematian almarhum Pratama.
Kampus akan memanggil pihak-pihak terkait untuk investigasi, termasuk anggota dan pembina Mahepel Unila.
Setelah diksar terselenggara, masih November, Nairobi mendapat laporan bahwa salah seorang peserta diksar, Faaris, telinganya bermasalah.
Mereka pun mengakui perbuatan saat diksar. Mereka menyatakan khilaf dan memohon maaf kepada korban.
Waktu itu, kata Nairobi, dekanat hanya mendapat laporan atas kasus Faaris, sedangkan kasus almarhum Pratama tidak diketahui.
Atas kejadian yang menimpa Faaris, lanjutnya, dekanat memberikan hukuman sosial kepada pengurus Mahepel Unila.
Sebagai bentuk pendidikan, dekanat tidak langsung memberikan hukuman keras kepada anggota organisasi itu, apalagi mereka sudah mengakui dan meminta maaf.
”Kami hukum mereka dengan membuat surat pernyataan jika melanggar lagi, melakukan kekerasan, akan kami bekukan organisasinya. Kemudian, kami suruh mereka membersihkan embung (Unila) yang kotor,” kata Nairobi.
Nairobi berpikir persoalan tuntas sampai di situ.
Ternyata, April 2025, dekanat mendapat informasi bahwa almarhum Pratama masuk rumah sakit dengan indikasi menderita tumor otak.
Dekanat mengutus wakil dekan tiga untuk mencari tahu duduk perkara.
”Cerita wakil dekan, ibu korban merasa menyesal memasukkan anaknya ke fakultas ekonomi dan mengikuti pendidikan dan pelatihan (Mahepel Unila). Masih dari cerita wakil dekan, ibu korban tidak akan menuntut, tetapi hanya kecewa,” ujar Nairobi.
Karena tidak ada tuntutan dari orangtua, kata Nairobi, dekanat hanya bisa menunggu dan memantau kasus ini.
Selain itu, rentang waktu diksar dengan kematian almarhum Pratama juga relatif jauh.
Menurut Nairobi, ia tidak mengabaikan tuntutan dari mahasiswa ketika unjuk rasa. Namun, ia tidak berkenan menandatangani tuntutan mahasiswa yang salah satu isinya ultimatum untuk menyelesaikan kasus ini 1x24 jam. Semestinya, cukup disebut diselesaikan secepatnya. ”Akhirnya, terjadi kesalahpahaman,” ujarnya.
Dalam unjuk rasa itu, Nairobi juga meminta agar ada pengaduan dari orangtua almarhum Pratama untuk menindaklanjuti kasus ini beserta bukti-bukti yang dimiliki.
”Setidaknya, orang tuanya dulu yang melakukan komplain. Akhirnya, tidak selesai, mahasiswa tidak puas dan lanjut ke rektorat,” katanya.
Saat ini, kata Nairobi, dekanat dan rektorat akan membentuk tim investigasi untuk mendalami kasus kematian almarhum Pratama.
Kampus akan memanggil pihak-pihak terkait untuk investigasi, termasuk anggota dan pembina Mahepel Unila.
”Kami juga akan memanggil orang tuanya (almarhum Pratama), apa yang diinginkan. Jika memang orangtuanya merasa keberatan dan merasa itu meninggalnya disebabkan diksar itu, tidak masalah. Atau memang meninggalnya karena penyakit bawaan yang kemudian muncul,” ujarnya.
Begini Fakta Mahasiswa Unila yang Meninggal setelah Ikuti Diksar, Diduga Disiksa Senior sampai Terpaksa Minum Spiritus
Melansir dari Kompas.com, Dekan FEB Unila, Prof Nairobi, mengungkapkan bahwa pengurus Mahepel telah mengakui adanya kelalaian dalam pelaksanaan diksar. Dekanat telah melakukan sidang terhadap ketua dan pengurus Mahepel pada 12 Desember 2024, yang juga dihadiri pembina dari unsur alumni. Dalam sidang itu, pengurus Mahepel berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya.
Baca juga: BMW Tabrak Pemotor hingga Tewas di Sleman, Pelaku dan Korban Mahasiswa UGM
Komentar
0