Dalam tulisan "Kampus Bermasalah Kalau (Masih) Ada Budaya Mahasiswa Memberi Makanan ke Dosen Penguji" oleh Achmad Fauzan Syaikhoni di Terminal Mojok, penulis mengangkat isu tentang budaya mahasiswa memberikan makanan kepada dosen penguji selama ujian skripsi.
Dilansir dari Modjok.co seorang penulis yang merupakan mantan mahasiswa, pernah kuliah menjalani 2 kali perkuliahan yakni D3 dan S1. Kedua jenjang studi tersebut mensyaratkan tugas akhir untuk lulus. Dan pastinya, setiap seminar proposal maupun seminar hasil, ada budget yang harus saya keluarkan dalam rangka “gastrodiplomasi” berupa snack dan air mineral untuk dosen penguji.
Dari rasa penasarannya, dia mencoba melakukan wawancara dengan beberapa rekan kerjanya di klinik. Demi menjaga privasi, nama narasumber dan kampus disamarkan.
Orang pertama yang diwawancarainya adalah seorang calon dokter, Salsabila namanya. Dia mengaku membawa macaroni schotel buatan ibunya sebagai ungkapan terima kasih kepada dosen penguji. Meskipun kampus melarang tindakan tersebut, Salsabila tetap melakukannya, bahkan jika dosen menolak, ia berencana untuk memberikannya kepada teman-temannya.
Sebelum menjalani koas, seorang calon dokter juga memiliki kewajiban menuntaskan skripsi untuk mendapatkan gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Ketika ditanya bagaimana pengalaman menyuguh kepada dosen penguji, Salsabila mengaku bahwa dirinya membawa macaroni schotel buatan ibunya.
“Sebenarnya dari pihak kampus sudah melarang mahasiswa untuk membawa makanan saat sidang skripsi. Tapi mamahku keukeuh nyuruh aku bawa macaroni schotel, kata mamah, ini sebagai bentuk terima kasih karena telah meluangkan waktu untuk membimbing dan menguji,” tutur alumni FK di salah satu universitas negeri di Semarang tersebut.
Salsabila juga mengaku. Misal dosen penguji menolak suguhannya, dia akan membagikan macaroni schotel kepada teman-temannya. Tetapi kenyataan berkata lain.
“Saat sidang selesai, ada dosen penguji yang bertanya, ‘Ini isinya apa?’
Setelah tahu kalau isinya macaroni schotel, eh dibawa juga itu makanan, kata Salsabila.
Selanjutnya si penulis mencoba ngobrol singkat dengan Nabilah, seorang dokter umum yang sempat menempuh perkuliahan di Purwokerto. Ketika saya tanya perihal suguhan untuk dosen penguji, dirinya juga mengaku bahwa saat sidang skripsi, dia juga membawa snack dan makanan.
“Iya, Mas. Waktu sidang saya juga bawa snack sama air mineral, terus nasi kotak juga.” Ungkap Nabilah.
Ketika saya tanya kenapa harus seperti itu, Nabilah menjawab karena teman-temannya juga melakukan hal yang sama. Bahkan kakak tingkatnya juga melakukan hal yang sama ketika melaksanakan sidang skripsi.
Nabilah juga bercerita, bahwa suguhan yang dia berikan tidak berhenti saat sidang skripsi saja. Saat menjalani koas pun kudu bawa sesuatu. Bahkan ada senior atau dokter satu rumah sakit yang menyindir dan terang-terangan ingin dibelikan makanan oleh dokter muda yang sedang menjalani koas. Tentu saja tidak semua dokter senior bersikap demikian.
Tentu saja pemberian “suguhan” tersebut entah nantinya disebut gratifikasi atau apalah. Namun “suguhan” tersebut sudah dinormalisasi. Oleh karena itu, ketika hendak menjadi dokter, harus siap juga untuk mengeluarkan uang yang tidak tercatat pada tagihan resmi keuangan akademik.
Setyo, narasumber selanjutnya begitu ditanya perihal “suguhan” saat sidang skripsi, justru menunjukkan raut muka terkejut. Dirinya mengaku hanya menjalankan sidang tanpa membawa jajanan atau makanan untuk dosen penguji.
“Apa cuma kampusku yang tidak memberi suguhan kepada dosen penguji?” Tanya Setyo heran.
Lanjut kemudian ia mewawancarai Yati, alumni AKPER swasta yang ada di Banyumas, adalah perawat senior di klinik. Dia juga memiliki cerita terkait dengan suguhan untuk dosen penguji.
“Dulu saya ambil tema tugas akhir tentang keperawatan Jiwa di RSJ yang ada di Klaten. Jadi, salah satu pengujinya adalah clinical instructor asal Klaten yang datang ke Banyumas untuk menguji,” ujarnya.
Jauh sebelum ujian, pimpinan kampus justru meminta kepada para mahasiswa, termasuk Yati, untuk membawa buah tangan. Oleh-oleh tersebut akan diberikan kepada dosen penguji yang datang dari luar kota. Selain menyediakan snack dan air mineral, Yati membawa telur asin sebagai buah tangan.
“Selain snack, saya juga nyiapin telur asin khas Brebes, tapi telur asinnya beli di Purwokerto,” kenangnya sambil tertawa kecil.
Dari beragam cerita di atas, cerita dari Priyantika yang paling membuat penulis sampai bengong selama 5 detik saking herannya. Jadi, sebelum ujian skripsi, ibu dari Priyantika sampai menjual cincin agar anaknya bisa memberikan suguhan kepada dosen penguji.
“Pokoknya banyak uang yang harus saya keluarkan. Mulai dari bayar pendaftaran ujian sidang skripsi, sampai menyediakan snack dan makanan untuk dosen penguji,” tutur Priyantika.
Priyantika mengaku bahwa dirinya menyiapkan banyak makanan. Antara lain: snack kotak berisi 3 macam kudapan, bebek goreng seharga Rp25 ribu, dan air minum 2 macam (Pulpy dan air mineral). Padahal, saat itu, ada 4 dosen penguji, sehingga Priyantika harus menyiapkan 4 snack, 4 porsi Bebek Goreng + nasi, 4 botol air mineral dan 4 botol Pulpy.
“Udah bayar untuk bisa daftar sidang, saya masih harus menyediakan konsumsi untuk dosen pembimbing. Karena uangnya kurang, ibu saya terpaksa jual cincin agar saya bisa membeli semua “ubo rampe” guna keperluan sidang skripsinya,” tukas Priyantika.
Budaya yang lumayan memberatkan mahasiswa
Beberapa kisah di atas membuktikan bahwa budaya “nyuguh” saat ujian skripsi memberatkan Mahasiswa. Selain memberatkan, hal tersebut juga termasuk pelanggaran terhadap surat edaran dari Kemendikbudristek No. 108/B/SE/2017 yang isinya adalah larangan bagi pendidik maupun stakeholder di perguruan tinggi untuk menerima hadiah dari mahasiswa, tentu saja aturan ini berlaku sebaliknya.
Jika budaya ini terus berlanjut, bayangkan saja jika nanti saat prosesi sidang seminar skripsi, ada penyidik KPK yang nyamar jadi mahasiswa. Terus setelah seminar selesai, alih-alih mahasiswa calon sarjana itu menerima selempang bertuliskan gelar akademik dari bestie seangkatannya, justru malah dapat rompi orange atas dugaan gratifikasi kepada dosen penguji. Lah endingnya malah wisuda virtual dari dalam jeruji tahanan.
Belum juga ngurus SKCK untuk nyari kerja, malah udah masuk penjara gara-gara terbukti melakukan gratifikasi.
Demi Menyiapkan Suguhan Untuk Dosen Penguji Sidang Skripsi, Seorang Mahasiswa Harus Rela Menjual Cincin Ibunya
Secara keseluruhan, tulisan ini menyoroti budaya memberikan "suguhan" selama ujian skripsi yang tidak hanya memberatkan mahasiswa secara finansial tetapi juga melanggar aturan yang melarang penerimaan hadiah dari mahasiswa. Tulisan ini menciptakan pemahaman tentang dampak negatif dari budaya ini dan menyampaikan pesan bahwa hal ini perlu diubah.
Baca juga: Kenapa Mereka yang Berprestasi Selalu Kalah dengan Mereka yang Viral di Indonesia?
Komentar
0