Berita

Teror Harimau di Jakarta Ratusan Tahun Lalu: 800 Pemburu Dikerahkan, Berakhir pada Kepunahan Harimau Jawa

Muhammad Fatich Nur Fadli 30 Juli 2025 | 16:22:31

Zona Mahasiswa - Di tengah peringatan Hari Harimau Internasional setiap 29 Juli, yang bertujuan meningkatkan kesadaran akan konservasi satwa langka ini, sebuah fakta sejarah kelam tentang hubungan manusia dan harimau di Jakarta (dahulu Batavia) kembali mencuat.

Baca juga: Pelaku Begal Payudara di Surabaya Tertangkap, Motifnya karena Nafsu

Ratusan tahun lalu, harimau Jawa bukanlah satwa yang dilindungi, melainkan ancaman nyata yang meneror warga kota. Serangan-serangan buas ini memicu perburuan besar-besaran, melibatkan hingga 800 orang pemburu, yang pada akhirnya berkontribusi signifikan terhadap kepunahan harimau Jawa.

Jakarta di Masa Lalu: Hutan Lebat dan Ancaman Harimau

Jauh sebelum menjadi megapolitan seperti sekarang, Jakarta ratusan tahun lalu masih didominasi oleh hutan lebat. Hanya sebagian kecil wilayah yang dihuni manusia, sementara sisanya menjadi rumah bagi berbagai satwa liar, termasuk harimau Jawa. Dalam kondisi ini, penduduk Batavia, yang sudah hidup di bawah tekanan sistem kolonialisme VOC, juga harus menghadapi ancaman nyata dari harimau yang berkeliaran bebas.

Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukunya Frontiers of Fear (2001) mencatat data yang mengerikan. Dalam kurun waktu antara 1633 hingga 1687, atau tiga dekade pertama kekuasaan VOC, terdapat setidaknya 30 laporan tentang orang yang dibunuh atau diserang harimau. Kebanyakan serangan ini terjadi di sekitar kebun tebu, yang kala itu menjadi habitat favorit harimau. Selain rimbun dan tersembunyi, ladang tebu juga kerap menjadi tempat berkeliarannya makanan harimau, yakni babi hutan.

Contoh konkret dari serangan ini adalah insiden pada tahun 1644, ketika seorang warga China tewas diserang dari belakang oleh harimau saat berburu bersama beberapa tentara di siang hari. Namun, serangan tidak hanya terbatas di ladang. Di kawasan terbuka seperti jalanan kota, harimau juga berkeliaran bebas. Boomgaard mencatat pada tahun 1659, sebanyak 14 orang menjadi korban serangan harimau di Ancol dalam waktu hampir bersamaan. "Mereka diserang, dan ada yang diseret dari jalanan ke hutan. Rekan-rekannya yang masih selamat melepaskan beberapa tembakan hingga harimau melepaskan korban," tulis Boomgaard, menggambarkan kengerian yang terjadi.

Tidak hanya warga lokal, harimau juga mengincar orang Eropa. Korban pertama dari kalangan Eropa yang tercatat namanya adalah Louis van Brussel, yang tewas diterkam harimau pada tahun 1668. Tentu, catatan-catatan Boomgaard ini diperkirakan hanyalah "gunung es", dengan banyak kasus serangan harimau yang tidak tercatat. Atas situasi yang semakin mengancam ini, pemerintah kolonial pun mengambil tindakan drastis. Perburuan harimau pun digelar sebagai langkah perlindungan bagi penduduk dan pekerja di sekitar Jakarta.

Pemerintah Kolonial Turun Tangan: Perburuan Massif dengan Imbalan Uang

Sejarawan Hendrik E. Niemeijer dalam bukunya Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012) mencatat bahwa pada tahun 1644, VOC pernah mengerahkan sekitar 800 orang untuk memburu harimau. Hewan-hewan buas yang berhasil dibunuh ini kemudian dibangkitkan dan dipamerkan di depan Balai Kota, yang kini berada di kawasan Kota Tua, Jakarta, sebagai bentuk pertunjukan kekuatan dan peringatan bagi warga.

Tak hanya melibatkan pasukan resmi, VOC juga mengajak masyarakat sipil untuk ikut serta dalam perburuan. Untuk menarik minat partisipasi, VOC memberikan hadiah uang tunai yang jumlahnya bervariasi, tergantung pada ukuran dan tingkat keganasan harimau yang berhasil ditangkap. Menurut catatan sejarawan Peter Boomgaard, untuk harimau biasa, hadiah yang diberikan sekitar 10 ringgit. Nominal ini cukup signifikan, karena setara dengan kebutuhan beras satu keluarga selama setahun.

Insentif finansial ini mendorong banyak orang untuk melakukan perburuan harimau secara mandiri demi meraih keuntungan pribadi. Akibatnya, populasi harimau menyusut drastis. Boomgaard mencatat bahwa setiap tahun lebih dari 50 harimau terbunuh hanya di sekitar Batavia. Populasi harimau yang semakin terdesak akhirnya terpaksa bermigrasi ke wilayah lain yang masih berhutan, seperti Banten dan Bogor (dahulu Buitenzorg).

Konflik Manusia-Harimau dan Kepunahan Harimau Jawa

Namun, perburuan harimau tidak berhenti di Jakarta. Di berbagai wilayah Jawa, perburuan harimau juga berlangsung secara masif, terutama dengan alasan keamanan penduduk. Antropolog R. Wessing dalam riset berjudul "The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change" (1995) menjelaskan bahwa perburuan harimau ini juga disebabkan oleh perubahan peta ekonomi di Jawa.

Masifnya pembukaan hutan untuk keperluan perkebunan dan ekonomi kolonial memicu gesekan serius antara hewan buas itu dan manusia. Habitat alami harimau terus menyusut, memaksa mereka lebih sering berinteraksi, dan seringkali berkonflik, dengan manusia. Akibatnya, konflik pun tak terelakkan. Harimau mulai menyerang ternak dan manusia, dengan rata-rata korban jiwa mencapai 2.500 orang per tahun. Demi alasan keamanan, manusia pun gencar berburu harimau.

Alhasil, perburuan yang berlangsung selama bertahun-tahun, didorong oleh ketakutan dan insentif, menyebabkan populasi harimau, khususnya harimau Jawa, menurun drastis. Pada tahun 1940, diperkirakan hanya tersisa sekitar 200-300 ekor. Jumlah ini terus menyusut hingga akhirnya, harimau Jawa secara resmi dinyatakan punah pada tahun 1980-an.

Kisah ini menjadi pengingat pahit tentang dampak intervensi manusia terhadap ekosistem. Dari statusnya sebagai teror yang harus diburu, harimau Jawa kini hanya tinggal kenangan, menjadi simbol tragis dari hilangnya keanekaragaman hayati akibat ulah manusia.

Baca juga: Dokter Gigi Selingkuh dengan Brondong, Digerebek Anak dan Suami di Kosan

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150