
Zona Mahasiswa - Fenomena viral pengibaran bendera bajak laut 'One Piece' jelang Hari Kemerdekaan RI ke-80 memicu perdebatan publik dan reaksi keras dari pemerintah. Anggota DPR dan beberapa pihak pemerintah menilai tindakan ini sebagai upaya makar dan pemecah belah bangsa. Namun, peristiwa ini mengingatkan kita pada pendekatan berbeda yang pernah diambil oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam menyikapi pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua, sebuah pelajaran tentang dialog dan pemahaman yang bisa menjadi acuan.
Makna Simbolis Bendera One Piece
Sebelum membahas respons pemerintah, penting untuk memahami makna di balik bendera Jolly Roger kru Topi Jerami. Dalam serial fiksi Jepang yang sangat populer, One Piece, bendera ini adalah simbol perlawanan terhadap World Government, sebuah institusi yang digambarkan sebagai otoritas korup yang tidak segan melakukan kejahatan demi melanggengkan kekuasaan.
Bagi para penggemarnya, atau Nakama, bendera ini bukan sekadar hiasan. Ia adalah simbol kebebasan, keadilan, dan perlawanan terhadap tirani. Dengan mengibarkan bendera ini, mereka mengirimkan pesan tersirat kepada pemerintah, menyuarakan kekecewaan atas kondisi sosial dan politik yang dianggap tidak adil dan korup. Ini adalah bentuk kritik sosial yang disampaikan melalui medium pop culture yang dekat dengan keseharian mereka.
Pendekatan Gus Dur vs. Respons Pemerintah Saat Ini
Pemerintah saat ini cenderung merespons fenomena ini dengan pelarangan dan narasi yang mengarah pada ancaman terhadap ideologi negara. Tindakan tersebut dinilai tidak elegan dan justru dapat menjadi bumerang, memicu perdebatan dan sindiran lebih luas di media sosial.
Pendekatan ini sangat kontras dengan cara Gus Dur dalam menyikapi pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua pada tahun 1999-2000. Saat itu, Gus Dur membuat keputusan yang sangat kontroversial dengan memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora, dengan syarat bendera tersebut tidak boleh lebih tinggi dari bendera Merah Putih.
Bagi Gus Dur, Bintang Kejora adalah simbol budaya dan identitas bagi masyarakat Papua, bukan simbol separatisme atau makar. Selama Merah Putih tetap dikibarkan sebagai simbol utama negara, ia beranggapan tidak ada masalah. Gus Dur justru melihatnya sebagai ekspresi masyarakat yang selama ini tidak pernah benar-benar diakui. Ia datang bukan untuk mengadili, melainkan untuk mengajak dialog dan mengakui martabat serta sejarah mereka.
Belajar dari Masa Lalu: Dialog dan Nasionalisme Baru
Jika Gus Dur masih hidup, mungkin ia akan menyikapi fenomena bendera One Piece dengan cara serupa. Ia mungkin akan melihatnya sebagai bentuk ekspresi masyarakat, bukan upaya makar.
Pendekatan ini mengajarkan kita bahwa yang dibutuhkan bukanlah pelarangan, melainkan ruang dialog dan pemahaman. Menganggap pengibaran bendera One Piece sebagai bentuk nasionalisme baru yang lebih cair adalah kunci. Ini adalah cara anak muda mengekspresikan cinta terhadap bangsa dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mengkritik demi perbaikan.
Yang dibutuhkan saat ini adalah edukasi simbol negara yang lebih baik, di mana rasa cinta tanah air tidak hanya diukur dari cara-cara formal, tetapi juga dari keberanian untuk menyuarakan kritik yang membangun. Pemerintah sebaiknya tidak berlebihan menyikapi fenomena ini, melainkan membaca pesan yang ada di baliknya. Dengan kepala dingin, mereka bisa menjadikannya sebagai momentum untuk introspeksi dan menunjukkan komitmen nyata dalam menciptakan keadilan dan pemerintahan yang bersih.
Sayangnya, respons pemerintah yang dinilai berlebihan justru berisiko menjadi bahan candaan dan meme di media sosial. Ini menunjukkan bahwa belum ada pelajaran yang diambil dari sejarah.
Komentar
0