Pilihan Editor

Kepentok Cinta Mas Ketua BEM 1

Zahrah Thaybah M 22 Mei 2021 | 15:00:37

“Ayoo!! Cepaaattt!! Sudah jam berapa ini? Jangan lelet-lelet jadi mahasiswa!!”

“Cepaaatt!! 5 menit lagi akan segera dimulai!”

“Hei..heii..itu mbak-mbak yang pakai tas warna orange dipercepat jalannya!!!”

Kemudian, suara itu terdengar lantang dan semakin membuat para mahasiswa baru alias maba lari terpontang-panting mencari barisan pletonnya.

“Aduuuhh.. sabar dong mas. Lagian, udah tau ini ribet bawaannya masih aja disuruh cepet-cepet. Situ mah enak cuma modal toa,” gerutu Anggia.

Oh iya, kenalin namaku Anggia Primadani. Umurku 19 tahun dan merupakan mahasiswa baru di salah satu PTN di Bandung.

Kehidupanku sih gini-gini aja, nggak ada yang menarik sama sekali. Kehidupan percintaan? Hmm, jangan ditanya lagi. Soalnya, udah pasti nihil alias nggak ada.

By the way, ini adalah hari pertama masa orientasi di kampus yang alhamdulillah jadi kenyataan. Semoga ini menjadi awal baru yang insyaallah menyenangkan sebagai mahasiswa.

“Eh, aduuhh pelan-pelan dong mas!”

“E-e-e maaf mbak takut nggak keburu saya,” ujar seorang cowok yang tingginya lumayan, rambutnya botak mungkin karena maba kali ya jadi sok-sok polos gitu awalnya.

“Bantuin dong mas. Malah ditinggal kabur.”

“Oh, hehehe iya mbak saya bantuin deh.”

Hmm, kalau dilihat-lihat cowok yang tak bernama ini lumayan juga. Alisnya rapi banget kayak pake pensil alisnya Tasya Farasya. Pipinya juga tirus, wajahnya mulus, jadi curiga dia ikut perawatan 10 jeti.

“Pleton berapa mas?” tanyaku.

“Pleton 12 mbak kebetulan. Kenalin nama saya Sans anak Mesin. Kalau mbaknya?” kata Sans.

“Hah? Namanya aneh banget mas. Emang sukanya santuy gitu ya apa gimana? Wah, kebetulan sama nih pletonnya. Saya Anggia dari jurusan Ilmu Komunikasi,” jelasku.

“Nggak tau nih mbak orang-orang juga nanya gitu dan pada heran. Kayaknya orang tua saya kelewat santuy deh asal saya lahir selamat gitu aja mah,” kata Sans.

Setelah ngobrol-ngobrol, ternyata namanya bagus juga lho unik gitu. Shankara Adibrata. Tapi, panggilannya nggak banget deh. Eh, ya nggak papa sih. Kalau dipanggil Kara kok kesannya kayak santan kemasan ya?

“Ayoo itu orang berdua ngapain ngobrol terus aja dari tadi? Kalau mau pacaran jangan di sini mbak mas. Nggak tau apa itu udah disuruh cepet baris? Malah enak-enakan pula jalannya,” ujar sebuah suara bariton yang terdengar berat dan serak-serak gimana gitu.

Saat aku sibuk mencari-cari dari mana asal suara tersebut, tiba-tiba kepalaku menoleh ke arah kanan. Aku pun terpaku dengannya. Tubuhku kaku, dunia ini seolah berhenti berputar. Seketika hiruk pikuk mahasiswa lain tidak terlihat. Aku bahkan lupa kalau si Sans dengan kepala botaknya itu ada di sebelahku.

“Ka-ka-kamu...” ujarku terbata-bata.

Mataku bersirobok dengan sepasang mata hitam legam yang memandangku tajam.

Penasaran bagaimana kelanjutan kisah Anggia? Tunggu kelanjutannya, ya!

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150