Berita

Kenapa Orang Indonesia 'Kabur' ke Tetangga saat Sakit? Fakta Menohok Layanan Medis Kita

Muhammad Fatich Nur Fadli 27 November 2025 | 15:04:57

Zona MahasiswaSudah menjadi rahasia umum, bahkan mungkin menjadi habit bagi kalangan menengah ke atas di Indonesia: kalau sakit sedikit serius, tiket pesawat ke Singapura atau Malaysia langsung dipesan. Fenomena "wisata medis" ini bukan sekadar gaya-gayaan atau masalah gengsi semata. Di baliknya, tersimpan realitas pahit mengenai ketimpangan kualitas layanan kesehatan yang membuat negara kita merugi besar.

Pemerintah sendiri mengakui, Indonesia kehilangan potensi devisa hingga Rp150 triliun per tahun karena warganya memilih membelanjakan uangnya untuk berobat ke luar negeri. Lantas, apa yang salah dengan rumah sakit kita?

Baca juga: Pejuang Skripsi Wajib Ngerti Hal Ini! Apalagi yang Penelitiannya Kualitatif

Pengakuan Jujur Menkes: Masalah Waktu dan Hospitality

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin (BGS) tidak menutup mata terhadap fenomena ini. Dalam acara Health Summit 2025 Agustus lalu, Menkes memberikan kritik pedas namun membangun terhadap sistem pelayanan kesehatan di dalam negeri.

Menurut BGS, alasan utama warga RI "kabur" ke tetangga bukan semata-mata karena harga. Faktanya, biaya berobat di Singapura seringkali jauh lebih mahal. Kuncinya ada pada dua hal: Kualitas Layanan dan Waktu.

Perbandingan Menohok:

  1. Waktu Tunggu:
    • Di Malaysia/Singapura: Pasien datang, masuk rumah sakit, dan bisa langsung bertemu dokter tanpa drama antrean panjang yang melelahkan.
    • Di Indonesia: Menkes BGS menyebut, "Di kita mungkin bisa 3-5 jam." Bayangkan, orang sakit disuruh menunggu setengah hari hanya untuk dipanggil masuk ke ruang periksa.
  2. Durasi Konsultasi (Kualitas Diskusi):
    • Di Malaysia/Singapura: Dokter meluangkan waktu 15-30 menit untuk berdiskusi. Mereka mendengarkan keluhan pasien secara detail, menjelaskan diagnosa dengan bahasa manusiawi, dan memberikan opsi pengobatan. Pasien merasa "dimanusiakan".
    • Di Indonesia (Kemenkes): "Mungkin cuma 3 menit," sentil Menkes. Pasien masuk, ditanya keluhan singkat, dokter mengetik resep, lalu selesai. Tidak ada bonding, tidak ada penjelasan mendalam. Pasien keluar ruangan dengan sejuta tanda tanya.

Kesenjangan dalam aspek hospitality (keramahan) dan administrasi inilah yang membuat pasien merasa lebih dihargai di luar negeri. Di sana, pasien adalah raja; di sini, pasien seringkali merasa seperti beban administrasi.

Fakta dari Singapura: Akurasi Diagnostik adalah Koentji

Di sisi lain, pihak rumah sakit luar negeri pun mengakui besarnya ketergantungan pasien Indonesia terhadap layanan mereka. Dr. Peter Chow, CEO IHH Healthcare Singapore (grup yang menaungi rumah sakit top seperti Mount Elizabeth), membeberkan data yang mencengangkan.

Dalam acara di Jakarta Pusat, Selasa (25/11/2025), Dr. Peter mengungkap bahwa pasien dari Indonesia menyumbang sekitar 50 persen dari seluruh pasien luar negeri mereka. Ini angka yang sangat masif.

Apa yang mereka cari? Dr. Peter menyebutkan tiga poin utama yang menjadi magnet bagi warga RI:

  1. Kepercayaan terhadap Spesialis: Reputasi dokter di sana yang dianggap mumpuni.
  2. Akurasi Diagnostik: Ini poin krusial. Banyak kasus viral di mana pasien didiagnosa penyakit A di Indonesia, tapi ternyata penyakit B saat diperiksa di Singapura (atau sebaliknya, didiagnosa parah di sini, ternyata ringan di sana). Ketepatan diagnosa di awal menyelamatkan pasien dari pengobatan yang salah dan biaya yang sia-sia.
  3. Hasil Pengobatan (Outcome): Tingkat kesembuhan dan pemulihan yang dirasa lebih baik.

Kanker Jadi Alasan Utama

Dari sekian banyak penyakit, layanan Onkologi (Kanker) menjadi yang paling banyak dicari oleh pasien Indonesia di Singapura.

Penanganan kanker membutuhkan teknologi mutakhir (seperti terapi proton, imunoterapi terbaru) dan presisi tinggi yang terkadang belum merata ketersediaannya di Indonesia. Selain itu, pendekatan multidisiplin di Singapura—di mana satu pasien ditangani oleh tim dokter berbagai spesialis secara bersamaan—memberikan rasa aman dan harapan lebih besar bagi pasien dan keluarganya.

Bukan Soal Tidak Nasionalis, Tapi Soal Nyawa

Seringkali ada stigma bahwa mereka yang berobat ke luar negeri itu "tidak nasionalis". Padahal, dalam urusan kesehatan dan nyawa, rasionalitas bekerja lebih dominan daripada sentimen kebangsaan.

Banyak Gen Z dan milenial yang kini kritis. Mereka membandingkan pengalaman orang tua mereka saat berobat menggunakan BPJS atau asuransi swasta di RS lokal dengan pengalaman kerabat yang ke Penang atau Singapura.

Di Penang (Malaysia), misalnya, konsep medical tourism sudah sangat matang. Pasien dijemput di bandara, disediakan akomodasi, biaya dokter transparan (bahkan seringkali lebih murah dari RS swasta Jakarta), dan obat-obatan yang diberikan efektif tanpa over-prescribing (resep berlebihan).

PR Besar Buat Indonesia: Jangan Cuma Bangun Gedung

Pemerintah Indonesia sebenarnya sedang berusaha mengejar ketertinggalan ini. Salah satunya dengan membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kesehatan di Sanur, Bali, yang menggandeng Mayo Clinic.

Namun, kritik Menkes BGS harus menjadi tamparan keras. Membangun gedung rumah sakit mewah dan membeli alat MRI tercanggih itu mudah kalau ada anggarannya. Tapi, mengubah budaya kerja, meningkatkan empati tenaga medis, memperbaiki sistem antrean, dan memastikan akurasi diagnosa, adalah pekerjaan rumah yang jauh lebih berat.

Selama pasien di Indonesia masih harus mengantre 5 jam hanya untuk konsultasi 3 menit dengan wajah dokter yang lelah dan ketus, maka jangan heran jika Rp150 triliun itu akan terus terbang ke negeri tetangga setiap tahunnya.

Bagi anak muda, kesehatan adalah investasi. Dan investasi terbaik adalah di tempat yang memberikan kepastian, kenyamanan, dan rasa hormat.

 

Baca juga: Dapat Bocoran dari Dosbing, Kurang-kurangin Pakai Redaksi Kayak Gini di Skripsi

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150