zonamahasiswa.id - Laki-laki seringkali dituntut sebagai sosok sempurna, harus selalu terlihat tangguh dan kuat bak figur pemimpin.Â
Baca juga:Â Tuai Pro Kontra, Anak Ridwan Kamil Memutuskan untuk Lepas Hijab "Jangan Salahkan Orang Tuaku... "
Namun, asumsi ini menimbulkan dualisme yang menuntut laki-laki untuk mengurangi sensitivitas terhadap perasaan mereka sendiri hingga berujung pada kekangan dalam menunjukkan ekspresi.
Bukan rahasia lagi bahwa di berbagai belahan dunia, konsep maskulinitas sering kali memaksa pria untuk memenuhi standar tertentu. Standar tersebut antara lain memiliki suara yang lantang, bekerja di bidang yang dianggap maskulin, memiliki kemampuan bertarung, menahan diri untuk tidak menangis, dan bahkan menolak untuk menyukai budaya K-pop. Dinamika ini merupakan bagian dari apa yang disebut "toxic masculinity".
Tentu saja, hal ini bisa menjadi sulit dan melelahkan bagi banyak pria. Ketika mereka merasa perlu untuk mengekspresikan emosi atau merasa lelah, mereka sering kali merasa terkekang oleh norma-norma gender yang ada. Dalam banyak kasus, kemampuan pria untuk mengekspresikan diri mereka secara terbuka atau mencari dukungan sering dipertanyakan, karena mereka dianggap tidak sesuai dengan citra tradisional maskulinitas yang kuat dan tidak terpengaruh.
Pertanyaannya, apakah kita perlu terus mempertahankan norma-norma ini atau haruskah kita mencoba mengubahnya? Haruskah kita terus membiarkan beban maskulinitas menindas banyak pria, atau apakah kita perlu bergerak menuju masyarakat yang lebih inklusif dan menerima bahwa ekspresi emosi dan kebutuhan akan dukungan adalah bagian alamiah dari menjadi manusia, apapun jenis kelaminnya?
Yuk, cari tahu lebih lanjut tentang maskulinitas!
Menurut Connell (1995), maskulinitas adalah sebuah kepercayaan terhadap pria yang bersifat deskriptif, preskriptif (menentukan) dan proskriptif (melarang). Konsep maskulinitas sendiri bersifat fleksibel karena dapat berubah dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, setiap masyarakat dan budaya memiliki representasi maskulinitasnya masing-masing (Murray & Drummond, 2016).Â
Karakteristik laki-laki yang stereotip adalah kuat secara fisik dan mental. Dilihat dari sudut pandang laki-laki dan sudut pandang perempuan, ternyata hal ini cukup signifikan perbedaannya. Dari sudut pandang laki-laki, maskulinitas sangat dibutuhkan, sedangkan dari sudut pandang perempuan, maskulinitas tidak terlalu dibutuhkan, sehingga hal ini pada akhirnya menimbulkan toxic masculinity.
Maskulinitas toksik adalah tekanan budaya yang memaksa pria untuk mengadopsi perilaku dan sikap tertentu untuk menghindari stigma sebagai "pria lemah". Meskipun maskulinitas adalah sifat yang pada dasarnya positif, toksisitasnya muncul ketika pria merasa dipaksa untuk menekan sifat-sifat seperti ramah, sensitif, atau lembut untuk memenuhi ekspektasi budaya.
Budaya toxic masculinity memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental pria. Sebuah studi dari WHO menemukan bahwa mayoritas kasus bunuh diri di Amerika, sekitar 80%, disebabkan oleh tekanan yang dirasakan oleh pria dalam menjalankan peran sosial yang ditentukan oleh masyarakat.
Ada beberapa penyebab toxic masculinity, termasuk norma dan stereotip sosial dan budaya yang berkembang seiring dengan faktor-faktor seperti usia, kelas sosial, jenis kelamin, dan agama. Hal ini menghasilkan standar yang ketat dan sempit tentang bagaimana seorang pria harus berperilaku.
Maskulinitas toksik tidak hanya berdampak pada laki-laki, tetapi juga perempuan. Sebagai contoh, laki-laki dapat menjadi korban kekerasan sesama jenis karena mereka dipaksa untuk mempertahankan citra maskulinitas yang tangguh.
Cara untuk mengatasi toxic masculinity adalah sebagai berikut:
1. Dorong pengakuan bahwa setiap individu memiliki karakteristik yang unik tanpa perlu mempertahankan toxic masculinity.
2. Dorong ekspresi diri yang bebas dari tekanan untuk memenuhi ekspektasi maskulinitas yang sempit.
3. Hindari menggunakan kata-kata atau tindakan yang merendahkan perempuan atau menghina laki-laki lain, sehingga mengurangi budaya yang memperkuat toxic masculinity.
4. Bangun dan kembangkan rasa empati yang kuat terhadap orang lain, dengan demikian melawan stereotip bahwa laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi.
Faktanya Laki-laki Dituntut Harus Kuat walau Kenyataannya Nggak Sekuat Wanita jika Berkaitan dengan Perasaan
Itulah ulasan mengenai pria yang susah untuk mengekspresikan diri secara terbuka atau curhat sering dipertanyakan, karena mereka dianggap tidak sesuai dengan citra tradisional maskulinitas yang kuat dan tidak terpengaruh.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.
Baca juga:Â Desainer Dinilai Anti Kritik karena Tak Terima Disenggol Coach Justin, Jersey Buatan Espro Diboikot Fans
Komentar
0