
Zona Mahasiswa - Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengklaim berhasil menekan peredaran judi online (judol) melalui kebijakan pemblokiran rekening pasif (dormant). Langkah ini terbukti efektif, dengan klaim penurunan drastis deposit judol dari Rp 5 triliun menjadi Rp 1 triliun dalam beberapa bulan terakhir. Namun, bagi para pecandu, kebijakan ini tidak serta-merta menghentikan mereka dari berjudi. Mereka mengaku akan mencari seribu cara untuk tetap bermain.
Pengakuan Pemain Judol: Kecanduan Tetap Sulit Berhenti
Meskipun akses deposit melalui rekening pasif semakin sulit, para pemain judi online mengungkapkan bahwa hal itu tidak akan menghentikan mereka. Seorang pemain berinisial T, karyawan swasta di Jakarta, mengakui bahwa pembekuan rekening akan memberikan efek psikologis, tetapi tidak menghentikan tekadnya. "Tetep aja deposit turun naik, tetep gas," ujarnya.
Senada dengan T, seorang mahasiswa berinisial V juga mengungkapkan, "Kalo sudah kecanduan mah akses gimana pun tetep dicari." Pemain lain yang tak ingin disebutkan namanya menambahkan bahwa jika rekening mereka diblokir, mereka akan mencari alternatif lain, seperti meminjam akun teman atau membuat rekening baru. "Ribet sih, tapi kalo pengen main ya tetep main," katanya.
Tantangan ini menunjukkan bahwa meskipun PPATK berhasil menyentuh aspek finansial, akar masalah kecanduan judi online masih belum teratasi. Para pecandu akan selalu mencari celah untuk memenuhi dorongan mereka.
Dampak Kebijakan PPATK dan Keluhan Nasabah
PPATK memberlakukan kebijakan pemblokiran rekening dormant yang diduga digunakan untuk menampung deposit judol. Rekening dianggap pasif (dormant) jika tidak digunakan untuk transaksi debet dan kredit selama 180 hari berturut-turut.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan bahwa kebijakan ini bersifat sementara dan bertujuan untuk melindungi nasabah dari penyalahgunaan. Ia mengklaim bahwa kebijakan ini berhasil menekan praktik jual beli rekening, yang selama ini menjadi salah satu cara para pelaku judol untuk beroperasi.
Data yang diterima Republika menunjukkan tren penurunan deposit judol yang signifikan. Pada April 2025, total deposit mencapai Rp 5,08 triliun, namun turun menjadi Rp 2,29 triliun pada Mei, dan kembali anjlok ke angka Rp 1,5 triliun pada Juni 2025. Frekuensi transaksi pun mengalami penurunan tajam, dari 33,23 juta transaksi pada April menjadi 2,79 juta transaksi pada Juni 2025.
Namun, kebijakan ini juga menuai masalah. Banyak nasabah yang sebenarnya bukan pelaku judol justru ikut terdampak, salah satunya Alya, seorang mahasiswa di Jakarta. Rekeningnya yang pasif dan hanya ia gunakan sesekali untuk membayar uang kuliah ikut terblokir. "Dari dulu memang saya pakai cuma buat bayar UKT, jarang banget transaksi. Tapi biasanya enggak pernah keblokir. Baru kali ini kena blokir,” keluh Alya.
PPATK menegaskan bahwa pemblokiran ini bersifat sementara dan bertujuan baik, namun bagi nasabah yang terdampak, hal ini menimbulkan ketidaknyamanan.
Perjuangan Tanpa Henti Melawan Judol
Kasus ini menyoroti kompleksitas masalah judi online di Indonesia. Meskipun pemerintah berhasil menekan deposit judol, para pemain tetap mencari cara untuk bermain. Ini menunjukkan bahwa upaya penanganan judol tidak bisa hanya berfokus pada aspek finansial atau pemblokiran situs, tetapi juga harus menyentuh akar masalahnya, yaitu kecanduan.
Langkah-langkah preventif, edukasi, dan rehabilitasi bagi para pecandu menjadi krusial. Kombinasi antara kebijakan finansial yang ketat dan pendekatan sosial yang lebih humanis mungkin bisa menjadi strategi yang lebih efektif untuk memberantas judi online dari akarnya.
Komentar
0