Zona Mahasiswa - Spill the tea kali ini datang dari dunia konservasi yang bikin kita semua tercengang. Kamu pasti kenal Chanee, kan? Itu lho, bule asal Prancis yang lebih Indonesia daripada kita, pendiri Kalaweit Foundation yang sudah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya buat menyelamatkan Owa dan hutan Kalimantan.
Biasanya Chanee tampil dengan konten edukasi satwa yang seru. Tapi, dalam video terbarunya yang viral belakangan ini, Chanee tampil beda. Ia menumpahkan kekesalan dan frustrasi yang sudah dipendam selama hampir satu dekade.
Ternyata, di balik layar perjuangannya menyelamatkan hutan, ada "Tangan Besi" birokrasi yang menekan. Chanee blak-blakan mengungkap bahwa selama 9 tahun terakhir (pada masa jabatan menteri sebelumnya), yayasannya diperlakukan tidak adil, diabaikan, bahkan dibungkam oleh Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
Wah, kok bisa lembaga negara yang harusnya menjaga hutan malah memusuhi penjaga hutan? Yuk, kita bedah kasus ini lebih dalam!
9 Tahun "Toxic Relationship": Diabaikan dan Ditindas
Bagi Sobat Zona yang mengikuti perjalanan Kalaweit, mungkin kalian merasa aneh kenapa beberapa tahun terakhir konten Chanee lebih banyak soal rescue satwa dan jarang speak up keras soal kebijakan. Ternyata, ada alasannya, Guys.
Dalam pernyataannya, Chanee menyebut bahwa hubungan antara LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan pemerintah di era sebelumnya berada di titik nadir. Ia menggunakan kata-kata yang sangat kuat: "Ditindas".
"Selama 9 tahun terakhir masa jabatan menteri sebelumnya, kami tidak hanya diabaikan, kami juga ditindas," ungkap Chanee dengan raut wajah serius.
Bentuk penindasannya pun nggak main-main. Mulai dari izin operasional yang dipersulit dan tidak diperpanjang, hingga komunikasi yang diputus total. Bayangin, kamu mau bantuin orang benerin rumahnya yang rusak, tapi yang punya rumah malah ngunci pintu dan ngusir kamu. Aneh banget, kan?
Chanee menegaskan bahwa dialog antara Kalaweit dan Kemenhut saat itu "Gagal total". Akibatnya, banyak isu krusial di lapangan yang tidak terselesaikan karena pembuat kebijakan di Jakarta menutup telinga dari laporan orang lapangan.
Sensor Media Sosial: "Dilarang Posting yang Jelek-jelek"
Ini poin yang paling bikin mindblowing dan mencederai kebebasan berpendapat. Chanee mengaku bahwa ada tekanan spesifik terkait aktivitasnya di media sosial.
Kemenhut di era sebelumnya diduga melarang Chanee dan timnya untuk memposting hal-hal yang tidak disukai kementerian, terutama yang menyangkut kerusakan lingkungan atau kegagalan konservasi.
"Izin kami tidak diperpanjang, dan kami bahkan dilarang memposting di media sosial hal-hal yang tidak disukai kementerian mengenai konservasi," beber Chanee.
Ini jelas Red Flag besar! Dalam era digital di mana transparansi adalah kunci, upaya pembungkaman ini berbahaya banget.
- Publik Dibutakan: Kita jadi nggak tahu kondisi hutan yang sebenarnya karena yang boleh diposting cuma yang "bagus-bagus" aja alias pencitraan.
- Anti-Kritik: Pemerintah seolah alergi terhadap fakta lapangan yang pahit. Padahal, aib hutan (seperti illegal logging atau tambang liar) harus dibuka biar bisa diobati, bukan ditutup-tutupi.
Kalau aktivis sekelas Chanee yang punya exposure internasional saja bisa ditekan begini, bayangkan nasib aktivis lokal atau mahasiswa yang mencoba bersuara?
Angin Segar: Menteri Baru, Harapan Baru?
Tapi, ada sedikit cahaya di ujung terowongan. Chanee menyebutkan bahwa situasi mulai berubah drastis dalam setahun terakhir, khususnya setelah pergantian kepemimpinan di Kementerian Kehutanan (Kabinet Merah Putih).
Momen puncaknya terjadi baru-baru ini, saat Menteri Kehutanan yang sekarang (Raja Juli Antoni) berkunjung langsung ke markas Kalaweit. Nggak cuma salaman dan foto-foto seremonial, Chanee langsung mengajak Pak Menteri terbang naik pesawat ringan (paramotor/ultralight) miliknya.
Kenapa harus terbang? Biar nggak ada yang bisa disembunyikan. Dari atas, Chanee menunjukkan "wajah asli" hutan kita tanpa filter.
- Danau Bekas Tambang: Lubang-lubang raksasa menganga yang ditinggalkan tanpa reklamasi.
- Sawit Ilegal: Perkebunan sawit yang seenaknya berdiri di dalam kawasan Hutan Produksi yang seharusnya dilindungi.
"Ini adalah kali pertama kami berbicara empat mata secara terbuka mengenai situasi di lapangan dengan seorang Menteri Kehutanan. Ini adalah momen yang sangat penting," kata Chanee.
Ini adalah plot twist positif. Akhirnya, ada pejabat yang berani melihat langsung "borok" di wilayahnya sendiri tanpa perantara laporan bawahan yang seringkali Asal Bapak Senang (ABS).
Realita Pahit: LSM Cuma Bisa Teriak, Pemerintah yang Punya Palu
Meskipun pertemuan ini membawa harapan, Chanee memberikan disclaimer penting buat kita semua. Jangan berharap masalah hutan Indonesia selesai dalam semalam cuma gara-gara satu kali pertemuan.
Kerusakan yang terjadi sudah sangat masif dan menumpuk selama puluhan tahun. Chanee mengingatkan posisi LSM seperti Kalaweit itu terbatas.
- LSM/Aktivis: Tugasnya memantau, memberi saran, merawat korban (satwa), dan berteriak jika ada yang salah.
- Pemerintah: Merekalah yang punya "Palu Godam" alias wewenang hukum. Merekalah yang bisa mencabut izin tambang nakal, menangkap pembalak liar, dan membuat regulasi tegas.
"LSM hanya bisa memberikan saran dan bekerja di lapangan, namun kewenangan mengubah sistem tetap berada di tangan pemerintah," tegasnya.
Jadi, kalau besok hutan masih gundul, jangan cuma salahin aktivisnya yang "kurang kerja". Tanyain pemerintahnya: Berani nggak pakai wewenangnya buat sikat mafia hutan?
Alarm Bencana: Alam Sudah Mulai 'Balas Dendam'
Di akhir videonya, Chanee memberikan pesan yang cukup menakutkan tapi nyata. Alam sebenarnya sudah "berbicara" kepada kita, bukan dengan kata-kata, tapi dengan bencana.
Banjir bandang di Sumatera, longsor di berbagai daerah, hingga cuaca ekstrem yang nggak menentu adalah bukti bahwa daya dukung lingkungan kita sudah collapse.
Kalaweit Foundation berkomitmen untuk terus menjadi "anjing penjaga" yang berisik. Mereka akan terus memberikan masukan kepada siapapun—mau pemerintah, swasta, atau masyarakat—selama tujuannya adalah menjaga sisa hutan yang ada.
"Kalaweit Foundation akan terus memberikan nasehat dan masukan kepada siapapun yang ingin mendengar pentingnya menjaga kelestarian hutan alam yang tersisa untuk generasi mendatang."
Pengakuan Chanee ini adalah tamparan keras buat demokrasi dan ekologi kita.
- Stop Pembungkaman: Pemerintah tidak boleh lagi menggunakan izin operasional sebagai "senjata" untuk menyandera mulut aktivis. Kritik itu obat, meski pahit.
- Transparansi Data: Kemenhut harus terbuka soal data deforestasi. Jangan sampai data satelit bilang A, data pemerintah bilang B.
- Dukung Menteri Baru (Tapi Tetap Kritis): Langkah Menteri Kehutanan saat ini yang mau terbang bareng Chanee patut diapresiasi. Tapi ingat, blusukan saja tidak cukup. Kita butuh kebijakan konkret, bukan cuma konten medsos bareng aktivis.
Kasus Chanee mengajarkan kita bahwa tanpa kebebasan bersuara, tidak akan ada pelestarian alam. Hutan mati dalam kesunyian, dan tugas kitalah untuk terus meramaikannya dengan teriakan keadilan.
Gimana menurut kalian, Sobat Zona? Apakah kalian percaya pemerintah sekarang beneran bakal dengerin aktivis, atau cuma gimmick politik aja?
Komentar
0

