zonamahasiswa.id - Dokter Sudanto telah mengabdi di Papua sejak 1975 dan selama itu tarifnya hanya naik 1.500 saja dari yang awalnya Rp 500. la sengaja mematok tarif murah karena tak mau membebani masyarakat Papua. Prinsipnya, "Kalau ingin kaya jadi pedagang, jangan jadi dokter."
Baca juga: Daripada Bayar 26 Juta Pasangan Ini Lebih Pilih Robek Tas Mewah Hermes di Depan Petugas Bea Cukai
Sudanto mengabdikan diri di Papua begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Umum (FKU) UGM tahun 1976.
Sudanto mengabdikan hidupnya sebagai dokter di Abepura. Untuk berobat kepadanya, warga tak perlu mengeluarkan banyak duit. Cukup Rp 2000.
Bahkan kalau memang tidak punya uang sama sekali, gratis pun jadi. Karena itulah Sudanto terkenal dengan panggilan 'Dokter Rp 2000'.
Dokter menjadi salah satu profesi mulia. Sebab tugasnya terkait kemanusiaan banyak membawa manfaat bagi manusia lain. Dengan tangan dan pengetahuannya di bidang medis, seorang dokter bisa menyembuhkan berbagai penyakit.
Kemuliaan seorang dokter bisa menjadi dobel jika yang bersangkutan juga melakukan hal-hal baik. Misalnya dengan memasang tarif seikhlasnya kepada pasien.
Setelah lulus, Sudanto mendaftar untuk program Dokter Inpres. Dia kemudian ditempatkan di wilayah Asmat, Irian Jaya (nama lama Papua).
Di Asmat, Sudanto bertugas selama enam tahun sampai 1982. Tugasnya mencakup empat kecamatan terpencil. Wilayah tugas yang benar-benar di pedalaman membuat Sudanto setiap hari harus berjalan kaki keluar masuk hutan dan rawa untuk menjangkau satu desa ke desa lainnya.
Bertugas di desa-desa wilayah terpencil Papua membuat Sudanto berhadapan dengan kenyataan bahwa masyarakat di sana tak punya banyak uang untuk kesehatan. Banyak pasien yang hanya membayar dengan sagu, rempah-rempah atau kayu bakar dari hutan, dan tak jarang hanya ucapan terima kasih.
Selesai menjadi dokter Inpres, Sudanto kemudian bertugas di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura hingga pensiun pada tahun 2003. Selepas pensiun ia membuka praktik pengobatan di rumahnya di Abepura sembari mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura serta beberapa kampus swasta di Jayapura.
Selama membuka praktik di rumah, Sudanto tak memasang tarif tinggi. Pasien hanya perlu membayar biaya pemeriksaan seikhlasnya paling banyak Rp2 ribu.
Tarif murahnya itu membuat dalam sehari ia bisa melayani hingga 200 orang pasien mulai dari pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIT.
Karena kemurahan hatinya, ia juga terkenal dengan sebutan Dokter Dua Ribu atau dokter rasa tukang parkir.
Mengenal Lebih Jauh dr.Sudanto
Lebih dari 30 tahun Sudanto mengabdikan hidupnya sebagai dokter di Abepura. Untuk berobat kepadanya, warga tak perlu mengeluarkan banyak duit. Cukup Rp 2000. Bahkan kalau memang tidak punya uang sama sekali, gratis pun jadi. Karena itulah Sudanto terkenal dengan panggilan 'Dokter Rp 2000'.
Sudanto memang sudah pensiun sejak tahun 2003. Meski demikian, dia tetap membuka praktek di rumahnya di distrik Abepura. Dia merasa, tenaganya masih dibutuhkan warga.
"Kalau dibilang capek, ya capek. Tapi ini pengabdian dan masyarakat di sana masih membutuhkan," kata Sudanto usai menerima penghargaan Alumni Award atau penghargaan bagi insan UGM berprestasi di Gedung Graha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) di Bulaksumur, Yogyakarta.
Menurut Sudanto, setiap harinya warga yang datang berobat sekitar 100. Jumlah itu bisa bertambah menjadi dua kali lipat bila sehabis liburan. "Jam praktek biasanya mulai jam 7 pagi hingga sore. Tapi kalau masih banyak bisa sampai malam," ujar Sudanto.
Sudanto mengabdikan diri di Papua begitu lulus dari Fakultas Kedokteran Umum (FKU) UGM tahun 1976. Saat itu, FKU UGM masih di kompleks Ngasem, Kraton bukan di Bulaksumur seperti sekarang ini.
Setelah lulus, Sudanto mendaftarkan diri ikut program Dokter Inpres. Dia kemudian ditempatkan di wilayah Asmat Irian Jaya (Papua). Selama 6 tahun hingga 1982 dia bertugas di Asmat dengan melayani 4 kecamatan terpencil.
Wilayah tugasnya benar-benar di pedalaman. Setiap hari Sudanto harus berjalan kaki keluar masuk hutan dan rawa untuk menjangkau satu desa ke desa lainnya. Pasiennya banyak yang tak mampu membayar jasanya dengan uang. Mereka hanya membayar dengan sagu, rempah-rempah atau kayu bakar dari hutan.
"Pasien paling banyak menderita malaria akut, infeksi saluran pernafasan, serta kurang gizi," kata pria kelahiran Karanganyar, Kebumen, Jawa tengah, 5 Desember 1942 itu.
Sudanto menjadi dokter Inpres sampai tahun 1982. Selanjutnya dia bertugas di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Abepura hingga pensiun pada tahun 2003.
Setelah pensiun, ayah lima anak ini membuka praktek pengobatan di rumahnya di Abepura. Dia juga mengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura hingga sekarang. Termasuk juga mengajar di program studi Pendidikan Jasmi dan Kesehatan (Penjaskes) FKIP Uncen serta beberapa perguruan tinggi swasta di Jayapura.
Sudanto praktik mulai pukul 07.00 WIT hingga 12.00 WIT. Pasien hanya membayar biaya periksa. Sedang obat-obatan, alat suntik dibeli pasien di apotek yang terletak didekat tempat prakteknya.
"Hanya memeriksa kondisi pasien saja. Banyak pasien yang merasa sudah sembuh setelah diperiksa. Semua obat yang ada adalah obat generik," pungkas suami dari Elisabeth S, perempuan keturunan Ambon-Manado.
Penghargaan terhadap Sudanto diberikan dalam rangka Dies Natalis ke-60 UGM. Dalam kesempatan itu, UGM memberikan penghargaan terhadap 90 orang berprestasi. 5 Di antaranya adalah pengabdi di daerah miskin dan terpencil.
Patok Tarif Rp. 2000, Dokter Sudanto Dijuluki 'Dokter Rasa Tukang Parkir' oleh Masyarakat Papua
Itulah ulasan mengenai dr.Sudanto yang mengabdi di Papua sejak 1975 dan selama itu tarifnya hanya naik 1.500 saja dari yang awalnya Rp 500.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.
Komentar
0