Horor

Misteri Setengah Tujuh Malam di Daksinapati UNJ

Zahrah Thaybah M 15 Maret 2022 | 19:44:10

zonamahasiswa.id - Halo, Sobat Zona. Ada yang nunggu-nunggu Sans untuk membawakan cerita horor dan seru nggak? Kali ini kita masih berada di Jakarta, di mana banyak banget kampus dengan berbagai kisah menarik yang perlu dikulik lebih dalam.

Kemarin kan sudah ke UI, UPH, Binus, IKJ, dan Trisakti. Kayaknya sekarang sabi kali ya juga ke Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Eits, jangan salah. Walaupun kampus ini jarang disebut oleh mahasiswa Indonesia, tapi jangan salah. Cerita-cerita horornya bahkan lebih mencekam lho.

Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sudah berdiri sejak puluhan tahun silam, lebih tepatnya 16 Mei 1964. Kampus ini merupakan instansi pendidikan pertama bagi para pengajar di Indonesia. Selain prestasi akademik dan non akademiknya yang memukau, ternyata ada sisi lain yang mengejutkan.

UNJ memiliki 8 fakultas dengan lebih dari 20 jurusan mempunyai gedung-gedung tua yang membuat bulu kuduk merinding. Ya, sudah tahu kan Sobat Zona apa maksud Sans.

Berdasarkan suatu sumber yang pernah Sans Baca, katanya menurut saksi mata pendirian UNJ ini ada beberapa bangunan ala Belanda. Nggak mengherankan lagi kalau mengingatkan kita dengan peristiwa pertumpahan darah antara Indonesia melawan Belanda.

Konon katanya, ada salah satu bangunan tua khas Belanda yang masih tersisa, yakni Gedung Daksinapati. Gedung itu terletak di dekat parkiran motor Jalan Utan Kayu. Sehingga menjadikan tempat ini terkesan bersejarah dan mengerikan dalam waktu bersamaan.

Ada satu cerita mengerikan dan menjadi misteri dari tahun ke tahun, hingga dijuluki "Gerakan Setengah Tujuh Malam". Karena, segala aktivitas nggak boleh lebih dari pukul setengah tujuh malam. Takutnya da hal-hal yang nggak diinginkan terjadi.

Gedung Daksinapati berbeda dengan gedung lainnya. Karena, bangunannya memang terpisah sehingga berdiri sendiri dan terkesan angker.

Nah, biar Sobat Zona nggak penasaran lagi dengan kisah pukul setengah tujuh malam di Daksinapati, langsung aja Sans mulai ceritanya. Eh, jangan lupa matikan lampu dan aktifkan mode horornya. Selamat membaca!

Pagi itu suasana kampus cukup lengang. Nggak seperti biasanya banyak mahasiswa mondar-mandir karena ada kegiatan.

"Ger, gimana proker buat besok? Beres?" tanya Azka.

Hari seluruh anak BEM memang kumpul karena akan ada acara lusa. Biasalah. Namanya juga organisasi pasti sibuk kalo nggak sok sibuk.

"Udah, aman kok. Lo jangan lupa ingetin anak perkap buat mulai ngedekor biar nggak mendadak. Terus bilang ke Dela biar semua kebutuhan mereka dia yang catet," kata Gerald yang sedang menekuri laporan di tangannya.

"Tenang aja. Selama ada Azka semua akan terkendali," ujarnya bangga yang hanya disambut dengusan Gerald.

Keduanya pun bergegas menuju Gedung Daksinapati, tempat untuk acara lusa. Rencananya mereka akan memantau progress dari masing-masing divisi. Karena kalau nggak ada yang mengawasi, semuanya berantakan.

Gerald mengedarkan pandangan menatap teman-temannya yang sibuk mengangkat barang, merapikan meja dan kursi. Ada juga si Putra lagi ngadem di depan kipas angin gede. Ck dasar. Batinnya.

"Oi, gimana kabar?" tiba-tiba dari arah timur muncul Rion cengengesan dan menepuk pundak Gerald.

"Halah, gayaan Put. Kabar apaan nih?" tanyanya. Sohibnya satu ini memang agak kurang waras.

Asal kalian tahu, mereka udah barengan mulai semester dua. Jadi jangan heran kalau Gerald khatam sama kelakuan absurdnya.

"Sok nggak ngerti lo. Ya si Diva lah," kata Rion. Diva adalah mahasiswi Psikologi yang kabarnya lagi ngejar-ngejar Gerald.

"Dih, kagak demen gue. Mulut lo minta dicabein emang ya," cowok yang hari ini berkemeja abu-abu itu jengah mendengar pertanyaan tak bermutu Rion.

Lalu, si empunya pun hanya tertawa meledek sahabatnya. Setelah ngobrol, Rion pamit ke kantin katanya rindu sama mie ayam Mpok Uci.

Nggak terasa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sang surya perlahan-lahan menunjukkan pancaran jingganya yang mempesona.

"San, belum balik lo?" Gerald berjalan menuju ke arah Sandra, salah satu anak acara. Perempuan itu terlihat sibuk dan nggak memperhatikan sekitarnya yang mulai menggelap.

"Anjir, elo Ger ngagetin. Belom, lagi cek rundown tadi Faras kebalik ngasih ke gue," katanya.

Gerald pun hanya menganggukkan kepalanya singkat.

"Ini kayaknya kurang ke kiri deh," ia membetulkan posisi tanaman hias di dekat panggung.

"Yang lain pada kemana San?" karena di dalam memang sepi. Siapa sih yang mau lama-lama di Daksinapati? Membayangkannya pasti bikin bergidik ngeri. Tapi dasar Gerald aja yang cuek. Jadi nggak terlalu berpengaruh ke dirinya.

Kemudian, Gerald kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut-sudut ruangan untuk memastikan tata letak barangnya sesuai. Namun, ia mengernyit heran ketika menemukan sebuah payung di atas panggung dekat backstage.

"Bisa-bisanya naruh payung sembarangan. Punya siapa San? Lo?" telunjuknya mengarah ke payung warna krem. Kalau dilihat lebih dekat warnanya cukup lusuh, dan ada beberapa bagian sudah koyak.

"Bukan. Nggak tahu punya siapa. Tadi kagak ada tuh di situ," kata Sandra.

"Oh ya udah. Lo nggak papa sendirian di sini? Gue mau ke masjid dulu udah maghrib soalnya. Ntar minta tolong beresin ya payungnya," kata Gerald nyelonong keluar begitu saja.

"Ck, kebiasaan lo. Sia*an kenapa nggak diberesin aja sekalian?" Sandra berdecak kesal melihat kelakukan ketuanya yang seenak jidat itu. Untung ganteng. Batinnya.

Lalu, Sandra pun berjalan mendekati payung itu. Sejenak ia terdiam. Payung itu seperti familiar baginya. Sepertinya pernah melihat...tapi di mana?

Deg

Bukannya itu payung jaman dulu ya? Payung yang digunakan oleh orang-orang borjuis. Belanda.

Benar itu payung seperti orang-orang Belanda. Sekujur tubuhnya merinding, tatkala pandangannya mengarah ke payung itu.

Bug

"Woi!! Bengong aja lo?"

"Bang*at lo, Yol. Bisa nggak sih salam dulu gitu?" Yola hanya tertawa ngakak melihat Sandra misuh-misuh karena kaget.

"Lagian lo ngapain ngeliatin itu payung? Kagak bakal berubah jadi duit," kata Yola.

"Sia*an lo Yol, cabut sana," ujar Sandra mengibaskan tangannya menyuruh Yola keluar.

Nggak tahu kenapa Sandra akhir-akhir ini sensi banget. PMS mungkin ya?

Sementara itu, waktu sudah semakin larut tapi teman-teman lainnya tak kunjung kembali dari istirahatnya.

Sandra dan Yola pun memutuskan untuk stay di Daksinapati karena mager ke warung. Keduanya bercanda tawa dan sesekali menunjukkan raut wajah serius.

Lijdt u, mijn onderzaten
die oprecht zijt van aard,
God zal u niet verlaten,
al zijt gij nu bezwaard.

Sontak keduanya terdiam mendengar nyanyian lagu kebangsaan dengan bahasa Belanda. Suara itu sayup-sayup seperti berada cukup jauh dari posisi mereka.

Graaf Adolf is gebleven
in Friesland in den slag,
zijn ziel in 't eeuwig leven
verwacht den jongsten dag.

"San...lo denger?" tanya Yola yang wajahnya mulai memucat. Kepalanya tak sanggup menoleh barang hanya sedikit. Tak jauh berbeda dengan kondisi Sandra yang tubuhnya mulai basah karena keringat dingin.

"Sssttt...ssstt plis Yol lo diem. Janji sama gue jangan pernah noleh kemana pun. Lo pura-pura nggak ngerti ya," kata Sandra dengan suara lirih.

Tak berapa lama, dari ekor matanya ia melihat Noni Belanda berjalan dari sisi kanan gedung menuju backstage. Sosok itu menggunakan baju warna putih krem yang sama dengan warna payungnya tadi.

Tanpa disangka-sangka, sosok mengerikan itu melihat tepat ke arah Sandra dan Yola. Wajah tanpa eskpresi dengan percikan darah, kulit putih pucat bak mayat, dan mata melotot menyeramkan.

Aaaaaaa

Keduanya lari terbirit-birit menuju luar ruangan. Keduanya telah sampai di lorong Daksinapati. Belum sempat menghirup udara, keduanya kembali dikejutkan dengan sesosok perempuan rambut panjang yang menyisir rambutnya.

"Yol..yol..i-i-itu ap-ap-pa?" sungguh kali ini Sandra bergetar hebat. Ia tak mampu menopang tubuh dengan kedua kakinya.

Sedangkan, Yola tak sanggup berkata-kata. Lidahnya kelu, ia hanya melotot ke arah sosok tersebut. 100 persen ia yakin jika itu bukanlah mahasiswi terlebih jam sudah menunjukkan pukul 7.30 malam.

Siapa gerangan yang berani tinggal di Daksinapati selain anak organisasi? Tanpa berlama-lama keduanya bergegas lari ke arah parkiran mencari siapapun untuk menolongnya. Masa bodoh dengan Gerald atau Azka yang akan menegurnya habis-habisan.

Seakan teringat sesuatu, Sandra kembali memutar ingatannya tadi sore.

Dudududud nananana hm hm hm. Gadis berambut ikal itu bersenandung ria di depan laptopnya.

"Mbak nggak pulang?" tanya petugas kebersihan yang sedang menyapu dan membuang sampah di Daksinapati.

"Oh nggak pak, kita masih ada persiapan buat acara lusa," kata Sandra.

Sementara itu, petugas kebersihan tersebut justru mengatakan sesuatu yang membuat Sandra terperangah.

"Mbak mending balik aja. Pamali sendirian di sini atau bisa nelpon temennya. Jangan sampai malem ya mbak soalnya mau saya kunci juga," kata petugas kebersihan ini.

"Lho pak gimana sih? Ini kan buat acara lusa. Lagian udah izin kok," tegasnya.

"Mbak ini udah hampir setengah tujuh dan mbak sendirian di sini. Larut banget saya takutnya mbak kenapa-kenapa. Soalnya selama ini semua mahasiswa nggak pernah lebih dari setengah tujuh mbak. Paling mentok jam setengah 6 sore," ujar petugas kebersihan itu sekali lagi.

Bukannya apa, beliau khawatir dengan kejadian yang mungkin masih belum diketahui oleh gadis di depannya itu.

Sebab, banyak kejadian aneh pukul setengah tujuh malam di Gedung Daksinapati. Mulai dari suara pekikan mahasiswa, Noni Belanda berjalan melintas, penampakan satu kelas mahasiswa di malam hari, hingga perempuan menyisir rambutnya di lorong.

Apa ini karena ada sangkut-pautnya dengan bangunan kampus yang menyisakan beberapa peninggalan Belanda? Tak ada yang mengetahuinya secara pasti.

Misteri Setengah Tujuh Malam di Daksinapati UNJ

Sobat Zona, peristiwa ini kerap terjadi di kalangan mahasiswa. Entah benar atau tidak cerita tersebut, kembali ke masing-masing individu.

Wah, selesai sudah misteri mengerikan setengah tujuh malam. Kali ini Sans mau melanjutkan perjalanan ke kampus mana ya untuk diceritakan kisah horornya? Tulis komentarmu di bawah ya.

Baca Juga: Seram! Cerita Mahasiswa Ospek Bertemu Sosok Penunggu Kampus UPH Jakarta

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150