zonamahasiswa.id - Kasus pelecehan seksual marak terjadi di mana-mana, terlebih banyak perempuan yang menjadi korbannya. Bahkan kasus ini nggak mandang bulu sama sekali, entah itu anak kecil, remaja, atau pun dewasa.
Ironisnya, banyak korban yang mendapat ancaman dari para pelaku. Pelarian terbaik bagi para korban adalah media sosial. Di sana mereka merasa mendapat keadilan sebab banyak netizen yang membelanya.
Namun banyak pula komentar pihak yang nggak masuk akal bahkan sok tau dan sok suci dengan dalih kebenaran. Bukan benar malah salah kaprah komentar menyebalkan itu.
Baca Juga: Ketika Dunia Tak Aman bagi Perempuan dan Ramai Tagar #PercumaLaporPolisi, Apa Harus Nunggu Viral?
Mengomentari Pakaian Korban
Kasus Novia Widyasari membuka mata netizen bahwa masih banyak kasus-kasus lainnya yang masih terpendam. Nggak hanya itu, pertama kasus pelecehan muncul pasti banyak netizen mengomentari mengenai pakaiannya.
"Dia emang pakai baju apa pas pelecehan?"
Sebenarnya, pertanyaan itu sama sekali nggak pantas dilontarkan buat para korban. Mereka sedang menuntut keadilan, eh malah ada pihak yang seenaknya jidat berkomentar tentang pakaian.
Ujung-ujungnya, nggak sedikit netizen yang akhirnya menyalahkan korban atas pakaian tersebut. Padahal pelecehan seksual terjadi ya karena otak pelaku saja yang kelewat mesum. Bahkan banyak dari mereka yang memakai pakaian tertutup masih saja jadi korban kemesuman pelaku.
Terlepas persoalan pakaian, lebih baik tanyakan kondisi korban apakah mereka baik-baik saja. Bisa juga memberikan dukungan atau mengingatkan korban bahwa mereka nggak sendirian. Sebab trauma tentang pelecehan nggak semudah itu untuk disembuhkan.
Pelecehan Seksual Sebagai Bahan Bercanda
Rasanya kurang tepat ya kalau pelecehan seksual malah dianggap bercanda oleh sebagian orang. Misal saja seperti menggoda orang saat lewat, menguntit, hingga mengajak berhubungan seksual.
Anehnya kalau memang bercanda, kenapa korban nggak ketawa sama sekali? Justru korban merasakan ketakutan, kekhawatiran, bahkan depresi. Sepele banget memang, tapi bagi orang-orang tertentu bakal merasa risih hingga menganggapnya sebagai salah satu pelecehan.
Namanya pelecehan ya tetap pelecehan, mau bagaimana pun bentuknya kalau korban sudah merasa terintimidasi jatuhnya akan tetap seperti itu. Nggak melulu korban harus punya bukti dulu baru bisa dikatakan pelecehan. Hmm nggak, itu salah besar.
Melaporkan Balik Korban
Media sosial menjadi jalan ninja bagi para korban untuk mengadukan pelecehan seksual. Namun ternyata upaya spill the tea di media sosial malah jadi bom waktu bagi korban.
Kalau berbicara soal aturan hukum di Indonesia, ya tahu sendiri lah. Rasanya nggak adil, korban pelecehan seksual kesulitan mengadukan traumanya. Mereka juga nggak bisa menjerat pelaku dengan hukum tertulis maupun moral.
Ada saja celah bagi pelaku yang akan melaporkan balik korban dengan dalih pencemaran nama baik (UU ITE). Klasik banget, seolah-olah korban harus punya bukti yang kuat baru bisa melapor.
Baca Juga: Teruntuk Mahasiswa Bucin: Perlukah Mencantumkan Nama Pacar di Skripsi Kalian?
Harus Viral Dulu di Medsos
Kebanyakan kasus pelecehan seksual akan viral dengan sendirinya di media sosial. Setelah viral, pihak berwajib baru mengusut kasus pelecehan seksual itu. Hmm, jadi intinya harus nunggu viral dulu baru diselidiki? Ya begitulah, nggak perlu jelasin panjang lebar sudah banyak bukti bertebaran di sana.
Maraknya Kasus Pelecehan Seksual, Malah Muncul Pihak 'Sok Tau' Berkedok Kebenaran
Itulah ulasan Mimin mengenai kasus pelecehan seksual yang semakin marak di media sosial. Namun ironisnya, malah muncul berbagai pihak sok tau yang berkedok kebenaran.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta selalu aktifkan notifikasinya. Sampai jumpa.
Baca Juga: Meluasnya Predator Kampus dan Gerakan Mas Nadiem untuk Menumpaskannya
Komentar
0