Berita

Kisah Soesilo Toer, Doktor Lulusan Rusia yang Memilih Jadi Pemulung 

Muhammad Fatich Nur Fadli 27 Juli 2024 | 14:28:01

zonamahasiswa.id - Soesilo Toer setiap malam sehabis maghrib hingga dini hari memulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan mengendarai motor butut berkeranjang.  

Baca juga: Mahasiswi Hukum Gorontalo Gelapkan 11 Laptop untuk Membiayai Kebutuhan Mantan yang Suka Judi Online

Di usia senja, dia masih bersemangat berkutat mencari rezeki memunguti barang-barang bekas bernilai jual di kampung kelahirannya itu.‎

Tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran‎ 17 Februari 1937 itu adalah adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis yang kiprahnya diperhitungkan dunia.‎ ‎ 

Di luar perkiraan juga, ternyata Soes, sapaan karibnya, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. Keduanya berada di Rusia. ‎ ‎ 

‎Dokumentasi akademis miliknya itu masih tersimpan rapi. Nyaris tanpa cacat, baik itu ijazah doktor ekonomi politik yang diabsahkan oleh The Council of Moscow Institute of National Economy maupun sertifikat lain yang diperoleh selama menempuh studi di Rusia sejak tahun 1962-1973.

Adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis Indonesia, itu tak ingin meratapi nasib menjadi pemulung meski menyandang gelar doktor dari Rusia. Soes, begitu dia kerap dipanggil, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet. ‎ 

Dia meraih beasiswa otoritas Rusia, bekerja selama 11 tahun di sana dan hidup bergelimang harta hingga nasib tak berpihak ketika dia pulang ke Tanah Air.

Perjalanan Akademik di Rusia

Soes mendapatkan beasiswa dari pemerintah Rusia dan bekerja selama 11 tahun di sana. Hidupnya di Rusia cukup makmur, tetapi ketika pulang ke Indonesia pada tahun 1973, dia menghadapi kenyataan yang pahit. Saat tiba di bandara Jakarta, Soes ditangkap dan dipenjara selama 6 tahun tanpa alasan yang jelas, terjebak dalam situasi politik yang kacau dari peralihan Orde Lama ke Orde Baru.

Tudingan PKI

Soes dituduh sebagai anggota PKI hanya karena latar belakang pendidikannya di Rusia, yang saat itu dianggap sebagai pusat komunisme. Padahal, dia hanya seorang mahasiswa yang ingin belajar dan mencari penghidupan yang lebih baik. Tudingan ini juga mungkin diperparah oleh hubungan keluarganya dengan Pramoedya Ananta Toer, yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.

Pramoedya sendiri adalah seorang penulis yang karyanya sering kali mengkritik pemerintah kolonial Belanda dan dianggap mendukung PKI oleh rezim Orde Baru. Dia pernah dipenjara selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.

Hidup Setelah Penjara

Setelah keluar dari penjara pada tahun 1978, Soes mengalami kesulitan besar. Stigma sebagai mantan tahanan politik membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Dia sering dicurigai dan diawasi, bahkan mendapat perlakuan kasar dari masyarakat. Beruntung, dia sempat menjadi dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta berkat bantuan temannya, tetapi setelah temannya meninggal, kariernya pun hancur.

Keluarga Soes juga terkena dampak tuduhan komunis. Kakak-kakaknya, Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer, juga dituduh sebagai anggota PKI dan dipenjara. Adik Soes, Soesetyo Toer, bahkan kabur ke Papua dan mengganti identitasnya untuk menghindari penangkapan.

Kembali ke Kampung Halaman

Pada tahun 2004, Soes dan istrinya, Suratiyem, memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Blora setelah rumah mereka di Jakarta digusur untuk proyek tol. Mereka mendapatkan ganti rugi yang digunakan untuk memulai hidup baru di Blora, termasuk merenovasi rumah warisan keluarga.

Rumah di Blora tersebut menjadi tempat bagi Soes untuk mengenang masa lalu bersama kakaknya, Pramoedya. Dia juga membangun perpustakaan kecil bernama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) untuk mendorong minat baca generasi muda setempat.

Kehidupan Sebagai Pemulung

Kini, Soes menjalani hidup sebagai pemulung. Dia memulung sampah mulai dari sehabis maghrib hingga dini hari di sekitar Blora. Hasil dari memulung ini tidak hanya untuk dijual, tetapi juga untuk pakan ternak. Selain memulung, Soes dan istrinya juga bercocok tanam dan beternak ayam serta kambing.

Soes tidak merasa malu dengan pekerjaannya. Baginya, memulung adalah pekerjaan yang mulia dan halal. Dengan hasil dari memulung, dia bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Anaknya, Benee Santoso, sudah dewasa dan bekerja di luar kota, sehingga beban Soes tidak terlalu berat.

Soes adalah contoh nyata betapa kerasnya kehidupan bisa berbalik meski memiliki latar belakang akademis yang luar biasa. Dia memilih untuk tetap tegar dan tidak meratapi nasibnya. Dalam pandangan Soes, pekerjaan memulung adalah sesuatu yang harus dijalani dengan ikhlas dan bangga. Dari hasil memulung, dia bisa hidup dan tetap menjaga integritas serta martabatnya. 

Kisah Soesilo Toer, Doktor Lulusan Rusia yang Memilih Jadi Pemulung 

Soes mengingatkan kita semua bahwa gelar akademis tidak selalu menjamin kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, keteguhan hati dan kerja keras adalah kunci untuk tetap bertahan menghadapi berbagai cobaan hidup.

Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.

Baca juga: Cewek Ini Ceritakan kalau Gaji Dosen di Australia dalam Satu Tahun Bisa Sampai 1M 

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150