zonamahasiswa.id - Constitutional and Administrative Law Society (CALS) yang merupakan gabungan/kelompok dari akademisi dan masyarakat sipil pemerhati hukum konstitusi, mendesak DPR RI dan pemerintah menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
Baca juga: Viral! Dokter OBGYN Ungkap Cerita Bocah 10 Tahun Suka Tidur Bareng di Rumah Temannya, Ternyata...
Badan Legislasi DPR RI pada Rabu atau sehari setelah dua putusan MK itu langsung mengadakan serangkaian rapat kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang bakal merevisi UU Pilkada.
Aksi DPR itu dikhawatirkan berbagai pihak bakal menganulir dua putusan MK terkait aturan main pilkada. Dalam pernyataan sikap itu, ada 27 akademisi dan praktisi yang tergabung di dalam CALS
Respon dari Kelompok Akademisi dan Masyarakat Sipil
Dalam pernyataan sikapnya, Anggota CALS Titi Anggraini saat dihubungi di Jakarta, Rabu, komunitas akademisi dan masyarakat sipil itu meminta pemerintah dan DPR mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dibacakan MK pada 20 Agustus 2024.
Badan Legislasi DPR RI pada Rabu atau sehari setelah dua putusan MK itu langsung mengadakan serangkaian rapat kerja pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada yang bakal merevisi UU Pilkada. Aksi DPR itu dikhawatirkan berbagai pihak bakal menganulir dua putusan MK terkait aturan main pilkada.
Menurut CALS, yang mayoritas anggotanya ahli hukum tata negara, Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi seluruh partai politik, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun yang tidak.
“Putusan itu juga membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding melawan dominasi koalisi gemuk,” kata Titi mewakili CALS.
Sementara itu, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik, dan perbandingan dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih.
Dalam pernyataan sikap yang sama, CALS juga mendesak elite-elite politik untuk tidak mengakali aturan main pilkada, khususnya dengan cara-cara mempersempit ruang untuk berkompetisi, menutup pencalonan kandidat-kandidat alternatif, dan memborong dukungan sampai akhirnya terbentuk koalisi yang gemuk.
Oleh karena itu, CALS juga meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menindaklanjuti dua putusan MK itu.
Dalam pernyataan sikap itu, ada 27 akademisi dan praktisi yang tergabung di dalam CALS, diantaranya Aan Eko Widiarto, Alviani Sabillah, Auliya Khasanova, Beni Kurnia Illahi, Bivitri Susanti, Charles Simabura, Denny Indrayana, Dhia Al-Uyun, Fadli Ramadhanil, Feri Amsari, Herdiansyah Hamzah, dan Herlambang P. Wiratman.
Selain itu, Hesti Armiwulan, Idul Risha , Iwan Satriawan, Mirza Satria Buana, Muchamad Ali Safa’at, Muhammad Nur Ramadhan, Pery Rehendra Sucipta, Richo Andi Wibowo, Susi Dwi Harijanti, Taufik Firmanto, Titi Anggraini, Violla Reininda, Warkhatun Najidah, Yance Arizona, dan Zainal Arifin Mochtar.
DPR Kebut Pembahasan Revisi UU Pilkada, Anggota Baleg: Kami Tak Mungkin Anulir Putusan MK
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Yandri Susanto, menyebut rapat pembahasan RUU Pilkada tidak ditujukan untuk membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Yandri menyebut pihaknya tidak mungkin menganulir putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah.
Politikus PAN itu menyebut rapat Baleg DPR hendak memperjelas putusan MK untuk dimasukkan ke revisi UU Pilkada 2016. Menurutnya, putusan MK perlu diperjelas supaya tidak ada "tafsir yang liar."
"Kita enggak mungkin menganulir MK, kita ingin menyadur itu biar terang benderang, tidak ada tafsir yang liar, oleh penyelenggara KPU maupun pasangan calon yang ingin berkontestasi di pilkada," kata Yandri di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
"Inilah redaksinya (putusan MK), titik komanya, kalimat per kalimatnya itu mesti kita sadur dalam UU Pilkada."
Yandri menyampaikan bahwa, secara hukum, Putusan MK Nomor 60 dapat langsung diberlakukan. Namun, menurutnya DPR perlu melakukan pendalaman terlebih dahulu agar putusan tersebut dapat diakomodasi di RUU Pilkada.
"DPR dan pemerintah masih punya waktu untuk menyadur itu ke dalam Undang-undang Pilkada, sehingga itu bisa benar-benar menjadi payung hukum KPU, termasuk nanti membuat PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) yang baru," kata Yandri dikutip Kompas.com.
"Dan itu bisa dijelaskan detail. Tidak ada lagi debatable nanti, apa yang dimaksud dengan persyaratan pasangan calon, misalkan jumlah kursi yang ada atau dengan per satuan dengan atau koalisi dengan partai non-parlemen, itu kan mesti dijelaskan."
Baleg DPR diketahui menggelar rapat panitia kerja (panja) RUU Pilkada mulai pukul 13.00 WIB. Rapat ini akan langsung dilanjutkan pada pukul 19.00 WIB dengan agenda pengambilan keputusan pembahasan RUU Pilkada.
Masyarakat Lebih Tertarik Bahas Isu Selingkuh
Sementara itu, di tengah maraknya perdebatan mengenai revisi UU Pilkada, perhatian netizen di media sosial justru tertuju pada isu-isu yang jauh dari urusan politik, seperti kasus perselingkuhan artis atau influencer. Tagar-tagar terkait perselingkuhan kerap kali menjadi trending topic, mengalahkan isu-isu politik yang sebenarnya lebih berdampak langsung pada kehidupan masyarakat.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia, terutama pengguna media sosial, cenderung lebih tertarik membahas isu-isu yang bersifat sensasional dan pribadi daripada mengikuti perkembangan serius di dunia politik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa tingkat partisipasi dan kesadaran politik masyarakat, khususnya generasi muda, semakin menurun.
Dampak Rendahnya Partisipasi Politik Generasi Muda
Keterlibatan aktif generasi muda dalam dunia politik sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi seluruh lapisan masyarakat. Namun, ketika perhatian mereka lebih terpusat pada isu-isu sensasional, ada risiko bahwa mereka akan menjadi apatis terhadap proses politik yang sedang berlangsung.
Rendahnya partisipasi politik di kalangan generasi muda bisa berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia. Ketika hanya segelintir orang yang peduli dan terlibat dalam proses politik, kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak mencerminkan keinginan mayoritas masyarakat. Hal ini dapat mengarah pada ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang ada.
Selain itu, ketidaktertarikan terhadap isu-isu politik juga dapat membuat generasi muda mudah terpengaruh oleh informasi yang salah atau propaganda politik yang menyesatkan. Ketika mereka tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang proses politik, mereka rentan terhadap manipulasi yang bisa merugikan mereka sendiri di masa depan.
Kelompok Akademisi dan Sipil desak DPR Hentikan Revisi UU Pilkada, Netizen Malah Sibuk Ngurusin Orang Selingkuh
Masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, perlu disadarkan bahwa partisipasi aktif dalam politik bukan hanya hak, tetapi juga tanggung jawab mereka sebagai warga negara. Dengan terlibat secara aktif, mereka bisa memastikan bahwa suara mereka didengar dan bahwa kebijakan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.
Baca juga: Ternyata Tidak Hanya Dibully, Begini Fakta di Balik Kematian Dokter Muda yang Bunuh Diri
Komentar
0