Berita

Debat Panas! Beda Pandangan PBNU dan Greenpeace Soal Bahaya Penambangan

Muhammad Fatich Nur Fadli 16 Juni 2025 | 16:55:52

Zona Mahasiswa - Sebuah debat sengit tengah membayangi diskursus publik di Indonesia, memecah belah pandangan tentang aktivitas pertambangan yang begitu vital bagi perekonomian namun sekaligus mengancam kelestarian lingkungan. Di satu sisi, berdiri tegak organisasi lingkungan global Greenpeace Indonesia dengan pandangan radikalnya yang menganggap seluruh aktivitas pertambangan sebagai “kejahatan” (evil). Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), organisasi Islam terbesar di Indonesia, menawarkan perspektif yang lebih nuansa, mengakui bahwa aktivitas tambang juga dapat membawa “kebaikan” (maslahat). 

Baca juga: Resmi! Prabowo Cabut Izin 4 Tambang Nikel yang Ada di Raja Ampat

Perbedaan pandangan fundamental ini memicu perdebatan panas yang kaya akan implikasi filosofis, etis, dan praktis bagi masa depan pengelolaan sumber daya alam di Tanah Air.

Greenpeace: Penambangan sebagai Kejahatan Mutlak

Bagi Greenpeace Indonesia, pandangan terhadap pertambangan adalah jelas dan tanpa kompromi: ini adalah kejahatan. Filosofi mereka berakar pada keyakinan bahwa eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, terutama melalui pertambangan, secara inheren merusak ekosistem, mengganggu keseimbangan alam, dan mengancam keberlanjutan hidup di Bumi. Perspektif ini didasarkan pada bukti-bukti konkret kerusakan lingkungan yang telah terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Argumentasi Greenpeace seringkali menyoroti dampak-dampak destruktif yang tak terhindarkan dari kegiatan pertambangan, mulai dari pembukaan lahan hutan yang masif, hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air dan tanah oleh limbah beracun, hingga dampak sosial yang merugikan masyarakat adat dan lokal. Mereka berargumen bahwa tidak ada bentuk pertambangan yang benar-benar “berkelanjutan” karena sifatnya yang ekstraktif dan non-terbarukan. Bahkan dengan teknologi mitigasi tercanggih sekalipun, jejak ekologis yang ditinggalkan oleh pertambangan dianggap terlalu besar untuk dapat ditoleransi oleh planet yang sudah tertekan oleh krisis iklim dan lingkungan.

“Dari Morowali hingga Halmahera, dari hutan yang hancur hingga laut yang tercemar, kita telah menyaksikan sendiri bagaimana industrialisasi nikel, misalnya, telah melibas ekosistem vital. Ini bukan sekadar dampak sampingan, ini adalah pola kerusakan sistematis,” ujar seorang perwakilan Greenpeace Indonesia dalam salah satu pernyataannya. Mereka meyakini bahwa ketergantungan pada sumber daya tambang harus dikurangi drastis, beralih ke energi terbarukan dan ekonomi sirkular sebagai solusi fundamental. Bagi mereka, keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari pertambangan seringkali tidak sebanding dengan biaya lingkungan dan sosial jangka panjang yang ditimbulkannya.

Pandangan ini sejalan dengan misi global Greenpeace yang berfokus pada kampanye anti-eksplorasi bahan bakar fosil, perlindungan hutan, dan promosi energi bersih. Mereka melihat pertambangan sebagai representasi dari model pembangunan yang usang dan merusak, yang harus ditinggalkan demi keberlangsungan hidup manusia dan planet. Mereka juga sering mengkritik lemahnya penegakan hukum dan praktik korupsi yang memungkinkan perusahaan tambang beroperasi tanpa pertanggungjawaban penuh atas dampak yang mereka timbulkan.

PBNU: Maslahat dan Mudharat, Perspektif Seimbang dalam Beragama

Di sisi lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hadir dengan pandangan yang lebih pragmatis dan seimbang, berdasarkan kerangka pemikiran Islam yang kaya. Bagi PBNU, tidak semua aktivitas tambang adalah kejahatan. Mereka mengakui adanya aspek “kebaikan” atau “maslahat” dalam pertambangan, yang berarti ada manfaat atau kemaslahatan yang dapat diambil dari kegiatan tersebut untuk kesejahteraan umat dan pembangunan negara.

Prinsip maslahat dalam fikih Islam merujuk pada segala sesuatu yang membawa kemanfaatan, kebaikan, dan kesejahteraan bagi individu maupun masyarakat, sekaligus mencegah mudharat (kerugian atau bahaya). Dalam konteks pertambangan, PBNU tampaknya berargumen bahwa jika pertambangan dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu—seperti kepatuhan pada aturan lingkungan yang ketat, keadilan dalam pembagian hasil, dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari manfaatnya—maka ia bisa dianggap sebagai kegiatan yang mendatangkan maslahat.

“Islam mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan. Memanfaatkan sumber daya alam adalah hal yang diperbolehkan selama tidak merusak lingkungan secara permanen dan memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat,” jelas seorang juru bicara PBNU. Mereka mungkin akan menyoroti bagaimana hasil tambang, seperti nikel atau batu bara, digunakan untuk infrastruktur, energi, dan kebutuhan industri yang pada gilirannya menopang kehidupan modern dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Pandangan PBNU ini tidak berarti mereka sepenuhnya abai terhadap risiko lingkungan. Sebaliknya, mereka mungkin menekankan pentingnya pertambangan yang bertanggung jawab, yang meminimalkan dampak negatif dan memastikan adanya rehabilitasi pasca-tambang. Mereka juga dapat berargumen bahwa sumber daya alam adalah amanah dari Tuhan yang harus dikelola dengan bijak, tidak hanya untuk generasi sekarang tetapi juga untuk generasi mendatang. Dengan demikian, pengelolaan tambang harus mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan dan keadilan.

Selain itu, PBNU sebagai organisasi yang memiliki akar kuat di masyarakat pedesaan dan komunitas lokal, juga mempertimbangkan aspek kesejahteraan ekonomi masyarakat yang seringkali bergantung pada sektor pertambangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bagi mereka, melarang total pertambangan tanpa solusi alternatif yang jelas dapat menimbulkan masalah ekonomi dan sosial bagi jutaan orang. Oleh karena itu, pendekatan mereka lebih cenderung pada regulasi, pengawasan, dan upaya mitigasi, daripada pelarangan total.

Implikasi Debat Terhadap Kebijakan Nasional

Perbedaan pandangan fundamental antara Greenpeace dan PBNU ini memiliki implikasi yang signifikan terhadap perumusan kebijakan pertambangan di Indonesia.

1. Tekanan terhadap Pemerintah: Debat ini menempatkan pemerintah dalam posisi sulit. Di satu sisi, pemerintah dituntut untuk memenuhi target ekonomi dan kebutuhan energi nasional yang masih sangat bergantung pada sektor pertambangan. Hilirisasi nikel, misalnya, menjadi agenda prioritas pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah komoditas. Di sisi lain, pemerintah menghadapi tekanan kuat dari kelompok lingkungan dan masyarakat yang menuntut perlindungan lingkungan yang lebih ketat dan penghentian praktik pertambangan yang merusak.

2. Definisi “Pertambangan Berkelanjutan”: Perdebatan ini memaksa semua pihak untuk mendefinisikan apa itu “pertambangan berkelanjutan” secara lebih konkret. Bagi Greenpeace, mungkin tidak ada definisi yang dapat diterima. Bagi PBNU, definisi tersebut harus mencakup aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi yang seimbang. Pemerintah perlu merumuskan regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang kuat untuk memastikan bahwa praktik pertambangan benar-benar memenuhi standar keberlanjutan.

3. Peran Lembaga Keagamaan dalam Isu Lingkungan: Keterlibatan PBNU dalam perdebatan ini menyoroti peran penting lembaga keagamaan dalam isu-isu lingkungan. PBNU, dengan jutaan pengikutnya, memiliki kapasitas besar untuk mengedukasi umat tentang etika lingkungan dalam Islam dan mendorong praktik-praktik yang lebih bertanggung jawab. Pandangan mereka dapat memberikan legitimasi religius bagi upaya konservasi, atau sebaliknya, memberikan pembenaran untuk aktivitas pertambangan yang dianggap maslahat.

4. Kebutuhan Dialog Multi-Pihak: Debat ini menunjukkan perlunya dialog yang lebih intensif antara berbagai pemangku kepentingan: pemerintah, industri pertambangan, organisasi lingkungan, masyarakat adat, dan lembaga keagamaan. Solusi komprehensif tidak dapat lahir dari satu sudut pandang saja, melainkan harus melibatkan konsensus yang dibangun di atas pemahaman bersama tentang tantangan dan peluang.

5. Tantangan Transisi Energi: Perdebatan ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks transisi energi global. Indonesia, dengan kekayaan nikelnya, memposisikan diri sebagai pemain kunci dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik. Namun, transisi ini datang dengan biaya lingkungan yang besar dari penambangan nikel. Debat ini menjadi cerminan dari dilema besar yang dihadapi negara-negara berkembang: bagaimana menyeimbangkan aspirasi pembangunan ekonomi dengan komitmen terhadap perubahan iklim dan perlindungan lingkungan.

Mencari Titik Temu atau Koeksistensi?

Pada akhirnya, apakah kedua pandangan ini—yang satu melihat pertambangan sebagai “kejahatan” dan yang lain melihatnya dapat membawa “kebaikan”—dapat menemukan titik temu? Atau apakah mereka akan tetap menjadi dua kutub yang berlawanan dalam diskursus publik?

Ada kemungkinan bahwa kedua pihak dapat sepakat pada beberapa prinsip dasar, seperti pentingnya transparansi, akuntabilitas, penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran lingkungan, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Greenpeace mungkin bisa mengakui bahwa ada kebutuhan sesekali untuk sumber daya mineral tertentu, asalkan penambangannya sangat terbatas, sangat diatur, dan diikuti dengan pemulihan ekologis yang ketat. Sementara PBNU, di sisi lain, dapat lebih menekankan pada mudharat yang dapat ditimbulkan oleh pertambangan yang tidak bertanggung jawab, dan mendesak standar yang jauh lebih tinggi dalam praktiknya.

Debat Panas! Beda Pandangan PBNU dan Greenpeace Soal Bahaya Penambangan

Debat antara PBNU dan Greenpeace adalah cerminan dari kompleksitas isu lingkungan dan pembangunan di Indonesia. Ini bukan sekadar tentang tambang, tetapi tentang bagaimana kita mendefinisikan kemajuan, apa yang kita nilai sebagai kekayaan sejati, dan bagaimana kita ingin mewariskan bumi ini kepada generasi mendatang. Adalah tugas bersama bagi seluruh elemen bangsa untuk menemukan jalan ke depan yang tidak hanya mensejahterakan manusia tetapi juga melestarikan alam yang menjadi penopang kehidupan kita.

Baca juga: Ngeri! Oknum Polisi di NTT Diduga Cabuli Korban Pemerkosaan saat Melapor

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150