zonamahasiswa.id - Dandhy Dwi Laksono, sutradara film dokumenter "Dirty Vote," menjelaskan alasan di balik pembuatan dan peluncuran film ini di masa tenang Pemilu dan Pilpres 2024.
Baca juga: Nomor HP Bos OJK Diteror Debt Collector karena Dijadikan Kontak Darurat Pinjol
Dandhy berharap film ini dapat menjadi sarana edukasi bagi masyarakat menjelang hari pemungutan suara yang dijadwalkan pada tanggal 14 Februari 2024.
Ia mengatakan, "Idealnya, Dirty Vote dapat menjadi tontonan reflektif di masa tenang pemilu. Diharapkan dalam tiga hari yang krusial menjelang hari pencoblosan, film ini dapat mengedukasi masyarakat, dengan banyaknya ruang dan forum diskusi yang diadakan."
Dandhy Dwi Laksono, sutradara film dokumenter "Dirty Vote," menjelaskan alasan di balik pembuatan dan peluncuran film dokumenter ini di awal masa tenang ini.
Dandhy juga menyampaikan harapannya kepada seluruh anggota masyarakat untuk sejenak mengesampingkan dukungan politiknya kepada para calon presiden dan calon wakil presiden dan secara terbuka terlibat dalam isi film dokumenter ini.
"Ada saatnya bagi kita untuk menjadi pendukung capres dan cawapres. Tapi hari ini, saya mengajak semua orang untuk menonton film ini sebagai warga negara," kata Dandhy.
Film dokumenter ini mengupas tentang dugaan potensi kecurangan dalam proses Pemilu dan Pilpres 2024. Film ini tayang perdana di kanal produksi WatchDoc di YouTube pada 11 Februari 2024, pukul 11.00 WIB, bertepatan dengan hari pertama masa tenang pemilu.
Film dokumenter ini menampilkan tiga orang pakar hukum: Feri Amsari, Bivitri Susanti, dan Zainal Arifin Mochtar. Mereka membahas penyimpangan yang terjadi di berbagai aspek terkait proses pemilu di Indonesia yang menerapkan praktik demokrasi.
Produksi film "Suara Kotor" merupakan hasil kolaborasi lintas organisasi masyarakat sipil. Menurut Joni Aswira, Ketua Masyarakat Jurnalis Lingkungan Hidup Indonesia (SIEJ) sekaligus produser, film dokumenter ini juga mengangkat hasil riset kecurangan pemilu yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil.
Joni menyebutkan bahwa biaya produksi "Dirty Vote" dikumpulkan melalui penggalangan dana (crowdfunding), donasi individu, dan sumbangan dari lembaga-lembaga. "Biaya produksi dikumpulkan secara patungan.
Selain itu, 'Dirty Vote' diproduksi dalam waktu yang sangat singkat, sekitar dua minggu, mulai dari proses riset, produksi, editing, hingga rilis. Bahkan lebih singkat dari waktu produksi film 'Endgame KPK' (2021)," kata Joni.
Sejumlah lembaga yang berkolaborasi dalam film itu adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch, Jatam, Jeda Untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, Walhi, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal, YLBHI, dan WatchDoc.
Dianggap Fitnah
Menurut Habiburokhman, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, dokumenter Dirty Vote dianggap memprioritaskan pembangunan narasi kebencian dan menganggap tuduhan yang diajukan tidak berdasar ilmiah.
Dalam sebuah konferensi pers di Media Center TKN di Jakarta Selatan pada hari Minggu (11/2/2024), seperti yang dikutip dari Tribunnews.com, Habiburokhman menyatakan bahwa meskipun dalam negara demokrasi setiap orang memiliki kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka, pihaknya ingin menegaskan bahwa sebagian besar isi dari film tersebut dianggap sebagai fitnah yang penuh dengan asumsi negatif dan tidak didasarkan pada pengetahuan yang ilmiah.
Sinopsis Film Dirty Vote yang Ungkap Desain Kecurangan Pemilu 2024
Film Dirty Vote mengisahkan tentang rencana kecurangan dalam Pemilu 2024 dari perspektif para pakar hukum tata negara di Indonesia. Mulai dari beragam pernyataan yang berbeda dari Jokowi tentang keterlibatan anak-anaknya dalam politik hingga ketidaknetralan para pejabat publik, potensi kecurangan oleh kepala desa, penyaluran dana bansos, penggunaan fasilitas publik, dan pelanggaran etik oleh lembaga-lembaga negara.
Menurut Feri Amsari, kecurangan-kecurangan tersebut bukanlah hasil dari rencana spontan, melainkan terstruktur secara sistematis dan masif, yang dilakukan oleh kekuatan yang telah berkuasa selama 10 tahun terakhir.
Zainal Arifin Mochtar menyatakan bahwa kecurangan yang direncanakan bersama tersebut akhirnya menguntungkan satu pihak, yaitu pihak yang memegang kendali kekuasaan dan dapat menggerakkan aparatur serta anggaran.
Menurut Bivitri Susanti, rencana kecurangan Pemilu 2024 tidaklah istimewa, karena skenario yang serupa telah dilakukan oleh rezim-rezim sebelumnya di banyak negara. Ia menegaskan bahwa masyarakat harus menyadari adanya kecurangan yang signifikan dalam pemilu ini.
Film Dirty Vote menunjukkan bagaimana politisi memanfaatkan rakyat demi kepentingan pribadi, serta aksi-aksi kecurangan yang terang-terangan namun tidak pernah ditindak. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan pemilu ternyata merusak demokrasi, termasuk sorotan pada kekuatan yang mendukung pasangan calon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming yang diduga melakukan kecurangan paling banyak.
Grafik data kecurangan dalam Pemilu 2024 disajikan dengan penjelasan dari ketiga narasumber, dan menurut Bivitri, film ini mencatat kerusakan demokrasi di Indonesia sebagai bagian dari sejarah.
Profil Dandhy Laksono, Otak Dibalik Film Dokumenter Dirty Vote
Dandhy Dwi Laksono adalah seorang jurnalis yang lulus dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dengan jurusan Hubungan Internasional. Dia mengejar pendidikan non-formal di Program Internship Jurnalis Siaran tentang Liputan Konflik di Ohio University, Amerika Serikat pada tahun 2007.
Setahun kemudian, ia melanjutkan pelatihan di Program Siaran British Council di London, Inggris. Dandhy telah lama berkarir dalam jurnalisme investigasi, tidak hanya melalui tulisan tetapi juga melalui pembuatan film dokumenter, salah satunya adalah Dirty Vote. Namun, kontroversi juga mengiringi karyanya, seperti film dokumenter Sexy Killer yang mengulas keterlibatan pemilik saham dalam proyek-proyek pembangkit listrik yang mempengaruhi Pemilihan Presiden 2019.
Karier Dandhy dimulai sebagai seorang reporter pada tahun 1990. Dia kemudian menjadi Konsultan Editorial untuk Berita First Media hingga tahun 2011, serta pernah menjadi reporter untuk tabloid dan majalah Warta Ekonomi. Dandhy juga menduduki jabatan editor untuk PAS FM Radio dan AHA Digital Lifestyle Magazine.
Selain itu, ia juga berperan sebagai stringer di radio ABC Australia dan aktif di media televisi seperti SCTV, RCTI, dan lainnya. Keaktifannya dalam melontarkan kritik melalui jurnalisme juga pernah membuatnya ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada tahun 2019 atas dugaan ujaran kebencian yang dianggap melanggar Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), meskipun pada saat itu alasan penangkapannya tidak dijelaskan secara rinci oleh polisi.
Dandhy juga dikenal sebagai pendiri WatchDoc, sebuah rumah produksi yang menghasilkan film-film dokumenter dan jurnalistik seperti Sexy Killers, Rayuan Pulau Palsu, dan Dirty Vote.
Tuai Pro & Kontra, Sutradara Ungkap Alasan Rilis Film "Dirty Vote" di Awal Masa Tenang Pemilu
Itulah ulasan mengenai alasan di balik pembuatan dan peluncuran film ini di masa tenang Pemilu dan Pilpres 2024.
Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.
Baca juga: Heboh! Seorang Anak Penjarakan Ayahnya yang Berusia 70 Tahun Gegara Kotoran Kucing
Komentar
0