zonamahasiswa.id – Pada hari Selasa tanggal 16 Maret 2021, tepat setahun yang lalu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyuarakan keputusan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dilakukan bertujuan untuk menekan penularan virus Covid-19.
Pembelajaran dengan sistem ini kemudian menimbulkan pro dan kontra. Karena pembelajaran yang tidak efektif melalui daring, menimbulkan permasalahan baik di kalangan mahasiswa maupun pelajar.
Melalui IDN Times, simak beberapa curahan hati mahasiswa dari berbagai universitas mengenai pembelajaran daring.
Baca Juga: Simak Keuntungan Mengikuti Program Kampus Mengajar bagi Mahasiswa Akhir
Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara
Seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Daniel Indra Prakoso menceritakan pengalamannya menjalani pembelajaran daring selama masa pandemi.
Ia menceritakan jika pembelajaran menggunakan Zoom Meeting. Setahun menjalani PJJ, Daniel sebenarnya senang karena tak harus membuang waktu melakukan perjalanan lebih kurang 20 kilometer dari rumah ke kampus.
“Kemudian dengan kegiatan PJJ ini kita dituntut untuk lebih kreatif dengan keterbatasan yang ada,†kata Daniel.
Namun, melakukan pembelajaran online ternyata tidak selalu menyenangkan. Daniel sendiri harus menatap layar mengikuti perkuliahan sedikitnya 5 jam dalam satu hari.
Selama menjalani PJJ, Daniel juga bercerita soal bantuan kuota dari Kemendikbud yang dia dapatkan. Menurutnya, kuota tersebut hanya sedikit membantu untuk mengakses e-learning kampusnya dan menjalani perkuliahan secara daring.
“Harapan saya adalah seluruh pelajar, tenaga pengajar/pendidikan, dan orang-orang yang tidak bisa disebutkan satu persatu dapat belajar banyak dan bisa menghadapi kekurangan ini akibat pandemi COVID-19,†kata Daniel.
“Pastinya kita semua berharap agar pandemi COVID-19 ini berakhir dan kita dapat melakukan aktivitas dengan baik dan lancar kembali tanpa adanya gangguan,†tambahnya.
Kemudian, ada Michael Angelo yang mengatakan sejak 16 Maret 2020 lalu tak hanya menjalani masa perkuliahan secara PJJ. Ia juga harus menempuh magang, sidang magang, hingga bimbingan skripsi secara daring dengan aplikasi Zoom.
“Jujur, kalau lagi gak mood kuliah seenggaknya bisa menyesuaikan dengan keadaan gitu ga terlalu memaku sama kegiatan kuliah seperti lagi offline,†kata Michael bercerita pengalaman sukanya menjalani PJJ.
“Tapi dukanya ya gak ada suasana yang mendukung buat belajar, gak ada temen, gak ada ambience belajar, terus berimbas jadi males walaupun udah pake segala cara dan motivasi,†sambung dia lagi.
Michael sendiri menilai, inisiatif pemerintah dalam hal ini Kemendikbud, dalam menerapkan PJJ membantu kampus untuk lebih kreatif dan mencari cara unik untuk mengembangkan suasana belajar.
“Beberapa kampus dan bahkan dosen juga aku rasa punya implementasi yang menarik untuk suasana kelasnya,†kata Michael.
Mahasiswa semester akhir ini mengaku lebih memilih untuk melakukan pembelajaran tatap muka ketimbang daring seperti sekarang.
Baca Juga: Program Kampus Merdeka dari Kemendikbud Beri Kesempatan Mahasiswa untuk Kuliah di Prodi Lain
Mahahasiswa Universitas Diponegoro
Curhatan mahasiswa berbeda disampaikan mahasiswa Universitas Diponegoro, Annisa Puspitasari. Pada 16 Maret 2020 lalu, UNDIP memutuskan untuk meliburkan mahasiswanya selama sepekan. Tak disangka-sangka, setelah diliburkan pembelajaran dilakukan secara daring.
“Karena ternyata keputusannya kita harus mulai melakukan pembelajaran secara online, tanggal 24 Maret aku memutuskan untuk pulang ke rumah di Bandung,†kata Annisa bercerita pada IDN Times.
Awalnya, ia mengaku merasa seperti sedang liburan. Namun, lama kelamaan dirinya merasa tak terbiasa karena hanya bisa berkomunikasi dengan kawan-kawannya melalui chat tanpa bertemu tatap muka seperti biasanya.
“Dari awal PJJ sampai sekarang, akhirnya 80 persen hari aku habiskan di depan laptop sama HP. Mau off sebentar juga rasanya gak tenang karena takut tiba-tiba ada info atau keperluan mendadak,†kata Nisa.
Nisa juga membagikan suka dukanya belajar daring selama masa pandemik. Mahasiwa semester 4 ini mengaku PJJ membuat perbedaan waktu kerja dan waktu istirahat seolah tak terbatas. Bahkan menurutnya, ada saja kelas pengganti yang dilakukan di hari Sabtu atau dilakukan pada malam hari.
Kendala teknis juga ia alami, mulai dari belum terbiasa menggunakan perangkat pembelajaran daring, hingga dosen yang memilih hanya mengirim materi tanpa penjelasan bahkan meminta tugas tapi terkesan tidak sinkron dengan mata kuliah yang diajarkan.
Belum lagi persoalan sosialisasi dengan teman dan juga kegiatan organisasi yang diikutinya. Tak jarang, menurut Nisa, kegiatan organisasi berlangsung daring dilakukan di hari Sabtu-Minggu.
“Mau minta istirahat juga suka ada rasa gak enak karena mikirnya ya kan akunya gak ke mana-mana dan cuma diam di rumah. Tapi tetap aja capek pikiran dan pegel juga duduk terus di depan laptop,†tuturnya.
Meski begitu, Nisa menyukai fleksibilitas yang tercipta karena pembelajaran daring, meski dia mengaku harus berusaha keras agar fokusnya tidak terpecah dengan kegiatan lain. Hal lain yang disukai Nisa dari pembelajaran daring adalah waktu yang dinikmati bersama keluarga menjadi lebih banyak.
“Tapi di beberapa waktu suka kangen juga ketemu temen dan ngelakuin kegiatan bareng-bareng, karena di rumah aku susah dapet izin keluar,†kata Nisa.
“Dan terlalu lama di rumah ini sering banget bikin aku tertekan secara mental,†sambungnya.
Mahasiswa UIN Jakarta
Tuhfatul Millah mengatakan jika PJJ justru lebih banyak menyisakan duka ketimbang suka saat dijalani.
Pembelajaran daring yang dialami Tuhfa terbilang beragam. Ada dosen yang meminta menggunakan aplikasi Zoom, Google Classroom, Google Meet atau hanya melalui aplikasi WhatsApp.
“Yaa senyamannya dosen, kami mahasiswa ngikutin aja,†ujar Tuhfa.
Dari cerita Tuhfa, rasa senang hanya dialami di awal PJJ dilaksanakan.
“Seneng banget, kayak libur,†kata Tuhfa bercerita. “Dukanya banyak banget. Gak bersosialisasi sama temen itu sih yang paling berasa, gak bisa ketemu,†kata dia lagi.
Belum lagi, menurut Tuhfa di semester 5-6 ada saja berbagai proyek yang harusnya dikerjakan bersama dengan teman-temannya dan akhirnya jadi sulit dilakukan. Masalah teknis juga tak jarang jadi kendala, jaringan misalnya, yang mengakibatkan penyampaian materi dari dosen yang tidak optimal dan interaktif.
“Ga ada kegiatan kampus juga, harusnya ada organisasi atau himpunan, gak bisa juga. Kasihan anak semester-semester awal yang baru menjelajahi kampus,†kata Tuhfa.
Menjalani PJJ, Tuhfa merasa Kemendikbud melakukan upaya yang tepat namun terbilang terlambat.
“Aku dapat kuota 50 GB tapi pas UAS, abis UAS kan libur jadi buat apa kuotanya?†kata Tuhfa.
“Karena dengan tatap muka di antara mahasiswa dan dosen itu gak ada miss komunikasi. Dan dengan teman juga kalau ada kerja kelompok dan lainnya,†kata Tuhfa.
Tuhfa berharap, sosialisasi terkait PJJ tak hanya digaungkan kepada mahasiswa namun juga pada dosen.
“Jadi gak sekadar hanya ngasih tugas tapi ngasih materi yang informatif,†kata Tuhfa. “Jadi yang merasa dirugikan gak cuman mahasiswa aja,†sambung dia.
Besar harapannya pembelajaran dapat segera berlangsung dengan tatap muka. Apalagi, Tuhfa melihat sudah semakin banyak anak muda yang berani nongkrong atau jalan-jalan yang sebenarnya juga berpotensi meningkatkan penyebaran virus COVID-19.
“Kenapa gak tatap muka aja, walaupun juga bisa menyebarkan virus tapi seenggaknya bisa lebih manfaat dan bisa disosialisasikan. Berharapnya tetap kegiatan udah bisa berlangsung, kuliah tatap muka, dan semoga aja pandemik ini cepat berakhir,†kata dia.
Tepat Setahun Menjalani Kuliah Online, Simak Kumpulan Curhatan Mahasiswa dari Berbagai Universitas
Sobat Zona, itulah kumpulan curhatan mahasiswa dari berbagai universitas mengenai pembelajaran daring yang mereka alami yang Mimin kutip dari IDN Times. Dari paparan rekan-rekan mahasiswa kita, dapat disimpulkan bahwa tetap ada dua sisi yang muncul dari perkuliahan online, yakni ada suka maupun dukanya.
Kalau Sobat Zona? Lebih banyak suka atau dukanya saat menjalani perkuliahan daring? Sharing dengan Mimin di kolom komentar yuk!
Baca Juga: Celaka! Mahasiswi UI Tertabrak Kereta di Pocin, Diduga Akibat Menggunakan Headset
Komentar
0