Berita

Sedang Ramai! Netizen Bandingkan Kasus Mahasiswi IPB Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi dengan Fufufafa

Muhammad Fatich Nur Fadli 12 Mei 2025 | 11:14:52

Zona Mahasiswa - Belakangan ini jagat maya dihebohkan dengan kabar penangkapan seorang mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS. Mahasiswi ini ditangkap karena mengunggah sebuah meme yang menampilkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo dalam pose yang dianggap tidak pantas oleh sebagian pihak. Meme tersebut menyulut polemik karena dianggap menghina martabat kepala negara dan mantan presiden.

Baca juga: Mahasiswa Asal Asmat Ini Kritik Mahasiswa Papua Penerima Beasiswa: Tak Bikin Prestasi, Cuman Mabuk Terus Buat Masalah

Namun yang membuat publik tambah gempar bukan hanya soal isi meme atau pasal yang dikenakan, tapi lebih kepada perbandingan dengan akun anonim bernama Fufufafa, yang selama bertahun-tahun dikenal rajin membuat konten kontroversial dan cenderung menyerang tokoh-tokoh tertentu di internet, namun hingga kini belum tersentuh hukum.

Pertanyaan pun bermunculan: Mengapa seorang mahasiswi bisa ditangkap karena meme, tapi akun anonim yang lebih masif dan agresif bisa dibiarkan begitu saja?

Penangkapan SSS: Kronologi Singkat

SSS adalah mahasiswi aktif dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Ia ditangkap di kamar kosnya di Jatinangor, Jawa Barat. Penangkapannya dilakukan oleh tim dari kepolisian setelah meme yang ia unggah di media sosial menjadi viral dan dilaporkan oleh beberapa pihak. Meme tersebut menggambarkan Prabowo dan Jokowi berciuman, sebuah visual yang dianggap menghina simbol negara dan menimbulkan keresahan publik.

Atas unggahannya, SSS dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berkaitan dengan penghinaan, penyebaran konten asusila, serta pencemaran nama baik.

Langkah hukum terhadap SSS berlangsung cepat. Dalam waktu singkat, ia sudah ditahan, diperiksa, dan disorot oleh media nasional. Namun setelah ramai dibicarakan, polisi memutuskan untuk menangguhkan penahanan SSS dengan alasan kemanusiaan dan mempertimbangkan statusnya sebagai mahasiswa aktif. Ia juga telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan menunjukkan penyesalan atas apa yang telah dilakukan.

Reaksi Publik: Antara Kritik dan Empati

Penangkapan ini menyulut diskusi luas, baik dari akademisi, pegiat HAM, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Banyak yang mengecam tindakan SSS karena dianggap tidak sopan dan mencoreng wibawa negara. Namun tak sedikit juga yang mempertanyakan proporsionalitas hukum yang dikenakan.

Sebagian pihak melihat bahwa tindakan SSS memang keliru, namun tidak seharusnya langsung dijerat dengan hukum yang keras. Mereka mempertanyakan: apakah penjara atau jerat pidana berat adalah solusi terbaik untuk sebuah unggahan yang jelas-jelas bernuansa satir atau sindiran?

Empati pun mengalir pada SSS sebagai seorang mahasiswa yang mungkin tidak memahami sepenuhnya konsekuensi hukum dari aksinya. Banyak yang menganggap bahwa pembinaan, bukan pemenjaraan, adalah pendekatan yang lebih tepat dalam kasus ini.

Akun Fufufafa: Anonim, Aktif, Tapi Tak Tersentuh

Di tengah ramainya kasus SSS, muncul kembali diskusi tentang akun-akun anonim yang kerap membuat konten satir, provokatif, atau bahkan berisi ujaran kebencian di internet. Salah satu akun yang menjadi sorotan adalah akun bernama Fufufafa yang dikenal aktif di forum-forum daring dan media sosial.

Akun ini sudah lama dikenal sebagai pembuat meme dan narasi-narasi politik yang sangat frontal. Banyak unggahannya yang menyentuh isu SARA, menyerang tokoh-tokoh tertentu, hingga menyebarkan hoaks. Namun sejauh ini, belum pernah terdengar ada tindakan hukum terhadap pemilik akun ini.

Ketika kasus SSS mencuat, perbandingan antara dirinya dan Fufufafa pun tak terhindarkan. Mengapa seseorang yang menggunakan identitas asli bisa ditangkap dalam waktu singkat, sementara akun anonim yang jauh lebih ekstrem dibiarkan bebas? Apakah ini menunjukkan ketimpangan penegakan hukum di dunia digital Indonesia?

ITB Ambil Sikap: Pendampingan dan Pembinaan

Sebagai institusi tempat SSS menimba ilmu, ITB tidak tinggal diam. Pihak kampus menyatakan akan memberikan pembinaan terhadap SSS. Fokusnya adalah pembinaan karakter dan penggunaan media sosial secara bijak. Pihak kampus ingin agar kejadian ini menjadi pelajaran bagi seluruh mahasiswa, bahwa ruang digital juga punya batas-batas yang perlu dipahami.

ITB menegaskan bahwa pihaknya akan mendampingi mahasiswanya agar tidak kehilangan arah akademik. Meski demikian, mereka juga tidak membenarkan tindakan SSS dan menyerahkan proses hukum kepada aparat penegak hukum.

Antara Satir, Kritik, dan Pasal Karet

Kasus ini kembali mengangkat isu lama yang tak kunjung usai: bagaimana seharusnya negara menyikapi kebebasan berekspresi di internet?

UU ITE sejak lama dianggap memiliki pasal-pasal "karet" yang bisa digunakan untuk membungkam kritik, bahkan satir. Apa yang dimaksud sebagai penghinaan atau pencemaran nama baik sering kali ditafsirkan sangat subjektif, sehingga orang biasa pun bisa terjerat jika menyentuh tokoh-tokoh tertentu.

Padahal dalam demokrasi, satire merupakan bagian dari kebebasan berekspresi. Negara-negara lain yang menjunjung tinggi demokrasi justru menjadikan satire sebagai bagian penting dari diskursus publik. Di Indonesia, satire sering disamakan dengan penghinaan, yang berujung pada ancaman pidana.

Dalam kasus SSS, ini menjadi nyata. Sementara akun-akun anonim dibiarkan, warga sipil dengan identitas jelas lebih mudah dijadikan target.

Sedang Ramai! Netizen Bandingkan Kasus Mahasiswi IPB Pengunggah Meme Prabowo-Jokowi dengan Fufufafa

Kasus SSS memberi banyak pelajaran bagi publik. Bagi warganet, ini menjadi pengingat bahwa dunia digital bukan ruang bebas nilai. Ada batasan yang jika dilanggar, bisa berdampak hukum. Namun bagi negara, kasus ini seharusnya jadi refleksi: apakah hukum ditegakkan secara adil untuk semua, atau hanya untuk sebagian?

Mengapa akun seperti Fufufafa bisa tetap eksis dengan narasi-narasi ekstrem tanpa tersentuh hukum, sementara seorang mahasiswa bisa ditangkap dalam sekejap karena satu unggahan satir?

Publik berhak bertanya dan menuntut kejelasan. Hukum harus tegas, tapi juga adil. Penegakannya tidak boleh tebang pilih. Jika negara ingin menjaga kehormatan simbol-simbolnya, maka harus dilakukan tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi secara semena-mena.

Kita semua, sebagai warga digital, juga perlu belajar: bahwa di era internet, setiap klik bisa berdampak hukum. Tapi negara juga wajib belajar: bahwa kritik dan satire bukan musuh demokrasi. Justru dari sana, pemerintah bisa tahu apa yang perlu diperbaiki

Baca juga: Jadi Sorotan! Momen Dedi Mulyadi Kaget saat Ada Siswi Hobi Mabuk dan Pesta Miras

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150