Berita

Bongkar Kasus Mafia BBM di NTT, Perwira Polisi Malah Dituduh Karaoke di Jam Dinas dan Kena Demosi ke Papua

Muhammad Fatich Nur Fadli 09 September 2024 | 10:14:23

Zona Mahasiswa - Institusi polisi tak pernah sepi dari sorotan, terbaru terbongkarnya mafia BBM bersubsidi yang diduga melibatkan Polda NTT berbuntut panjang. Ipda Rudy Soik yang bertugas di Polresta Kota Kupang pemimpin operasi tersebut malah diseret ke sidang kode etik dan mendapat demosi 3 tahun ke Polda Papua.

Baca juga: Anggota DPRD Jateng Termuda Ternyata Jarang Masuk Kuliah dan Nugas Pakai AI

Nasib polisi jujur di negara yang masih penuh dengan praktik mafia dan korupsi memang sering kali memilukan. Salah satu contoh terbaru adalah Ipda Rudy Soik, seorang anggota kepolisian yang bertugas di Polresta Kota Kupang, yang terkena demosi ke Polda Papua dan sempat ditahan selama 18 hari. 

Rudy dituduh melanggar jam dinas karena tertangkap sedang berkaraoke dengan istri orang lain, dan kasusnya telah disidangkan dalam sidang kode etik.

Namun, cerita yang sesungguhnya berbeda. Rudy sebenarnya ditugaskan oleh atasannya untuk mengungkap jaringan mafia di balik kelangkaan subsidi BBM. Seperti yang dikutip dari video Kompas TV pada Minggu (8/9) dalam tayangan "Neveral0nely," Rudy berhasil mengungkap sindikat penyelewengan BBM ilegal dan perdagangan manusia di NTT, tetapi justru dipindahkan ke Papua.

Klarifikasi atas Pernyataan Kabid Humas Polda NTT Soal Kasus BBM Subsidi

Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT sedang memproses dugaan pelanggaran kode etik terhadap IPDA Rudy Soik, SH terkait pemasangan garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di rumah dua warga Kota Kupang, Ahmad Munandar dan Algazali.

Pada saat bersamaan, mencuat pernyataan Kabid Humas Polda NTT, Kombes Pol Ariasandy, di sejumlah media, terkait Rudy yang terancam dimutasi karena karaoke bersama istri orang saat jam dinas.

Rudy  terancam dimutasi keluar dari NTT berdasarkan putusan Komisi Kode Etik Polri Nomor: PUT/32/VIII/2024/KKEP tanggal 28 Agustus 2024, salah satunya mutasi demosi selama tiga tahun ke luar wilayah Polda NTT.

Rudy disebut pernah menerima putusan disiplin dan kode etik sebanyak lima kasus.

Menanggapi itu, Rudy mengklarifikasi sekaligus minta Kabid Humas Polda NTT Kombes Pol Ariasandy untuk tidak membangun narasi seolah-olah ada perselingkuhan yang dilakukannya.

Dia meminta Ariasandy lebih jujur untuk melihat fakta yang sebenarnya.

“Kami melaksanakan perintah Kapolri dan Kapolresta kok jadi korban disidang kode etik dan dimutasi,” ujarnya.

Sambil memperlihatkan rekaman CCTV, Rudy menjelaskan, pertama, setelah anggota menyelidiki hingga ke lokasi penimbunan BBM ilegal milik Ahmad, warga Kecamatan Alak, Kota Kupang.

Rudy menarik anggotanya untuk kembali ke Restoran Master Piece Kota Kupang, untuk makan siang sekaligus melakukan analisa dan evaluasi (Anev).

Jarak Restoran Master Piece dengan Markas Polda NTT sekitar 100 meter dan tempat itu kerap digunakan oleh ibu-ibu Bhayangkari untuk acara makan.

Rudy pun selalu diperintah untuk menyiapkan tempat itu, dan ia juga menunjukkan izin restoran Master Piece.

Menurut Rudy, Ariasandy terkesan membangun narasi seolah-olah ada perselingkuhan antara para anggota tim Reserse dan Kriminal Polresta Kupang (jumlahnya 13 orang) yang hari itu menyelidiki kasus BBM ilegal bersamanya.

Padahal, kegiatan makan siang di Master Piece, juga diketahui Kapolresta Kupang Kombes Pol Aldian Manurung yang memantau pergerakan IPDA RS bersama tim di tempat itu.

“Saya merasa ini ada diskriminasi dan diskriminatif, karena setelah itu anggota Reskrim Polresta Kupang yang ikut saya dalam operasi penertiban hari itu dimutasi ke sejumlah wilayah terpencil di NTT. Saya dan Kasatreskrim Polresta Kupang dimutasi non job, diperintah masuk sel, saya juga dituduh otak di balik gagalnya anak Kapolda NTT masuk Akpol,”bebernya.

Diskriminasi dan Tuduhan

Bahkan ketika sakit dan tidak masuk kantor pun diperintah untuk ada surat keterangan dokter. Padahal ada ratusan anggota lain yang berlawanan sakit tidak pernah diminta surat keterangan sakit.

“Dengan peristiwa diskriminasi dan diskriminatif seperti ini, saya menduga sengaja dimutasi ke daerah operasi militer Papua, untuk hasilnya dijadikan mirip seperti penembakan Brigpol Josua yang direkayasa pembunuhannya seperti tembak menembak,” tambah Rudy.

Perselingkuhan yang dituduhkan kepada Rudy, juga dibantah langsung oleh Kapolresta Kupang Kota Komisaris Besar Polisi Aldinan Manurung, yang menggelar jumpa pers bersama sejumlah wartawan, Kamis (04/07/2024).

“Isu yang menyebut bahwa ada perselingkuhan itu adalah tidak benar. Saat itu anggota saya, berdasarkan surat perintah, tengah melakukan operasi dugaan mafia BBM ilegal di wilayah Kota Kupang. Setelah melakukan operasi, anggota saya yang berjumlah kurang lebih 15 orang saat itu beristirahat untuk makan di kafe tersebut, sehingga dari pihak Paminal Polda datang dan hanya untuk mengecek. Jadi tidak ada yang selingkuh,” jelas Aldinan dalam konferensi pers itu.

Rudy kembali menjelaskan, untuk pemasangan garis polisi di tempat penampungan BBM ilegal di rumah Ahmad Munandar dan Algazali, dilakukan karena sedang menjalankan rangkaian penyelidikan kasus BBM ilegal.

Dalam kasus BBM ilegal itu, terdapat sejumlah fakta adanya keterlibatan anggota Polresta Kupang Kota, yang menerima suap dari Ahmad, saat Ahmad membeli minyak subsidi jenis solar menggunakan barcode Law Afwan (pengusaha dari Cilacap).

Oknum Sabhara Diproses, Penimbun BBM Ilegal Dibiarkan Bebas  

Fakta lain, dari hasil penyelidikan Reskrim Polresta Kupang, ditemukan bahwa Ahmad memiliki kedekatan dengan anggota Paminal Propam Polda NTT yang pernah menggelar operasi tangkap tangan oknum Shabara Polda NTT yang menerima suap dari Ahmad senilai Rp 30 juta, saat Ahmad membeli minyak ilegal pada sebuah SPBU di bilangan Kota Kupang.

Anehnya, oknum anggota Shabara Polda NTT yang diproses disiplin, tetapi Ahmad pelaku dalam kasus BBM ilegal tidak diproses pidana.

Padahal, Ahmad juga mengakui, bahwa pembelian minyak pada bulan Juni 2024 itu disalurkan kepada Algazali selaku penimbun.

Lebih lanjut, dalam pemeriksaan lapangan, Algazali mengaku, sebelum IPDA Rudy memimpin operasi penertiban BBM ilegal pada 25 Juni 2024, Algazali ditelepon oleh oknum Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT untuk ‘tiarap sebentar’.

Algazali menjelaskan, bahwa selama ini ia bekerja sama dengan oknum Ditkrimsus dan minyak milik Ditkrimsus itu adalah BBM ilegal.

Atas dasar itulah, maka ia bersama tim mengambil tindakan pemasangan police line (garis polisi), karena kelangkaan BBM dirasakan oleh semua kalangan masyarakat dari daerah perbatasan hingga Kota Kupang.

“Dalam pelaksanaan tugas ini bukan maunya saya, tetapi atas perintah atasan. Tapi kok kenapa saya yang disalahkan, dan dijadikan alasan pemberatan untuk dimutasi ke Polda Papua? Mengapa Pak Kabid Humas tidak melihat fakta-fakta ini sebagai upaya untuk menyelamatkan NTT dari mafioso BBM dan perdagangan orang? Kenapa ini dijadikan alasan. Pemberatan untuk saya dimutasi ke daerah operasi militer Papua atau Polda Papua,”sambungnya.

Kasus TPPO Diungkap RS tapi Dibela Oknum Ditreskrimsus

Rudy juga menjelaskan kisahnya yang pernah membongkar kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 11 tahun lalu, ketika dirinya masih jadi anggota Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTT.

Saat itu, Kombes Moh Slamet selaku Direktur Kriminal Khusus, yang juga sebagai komandan langsung dari Benny Hutajulu yang saat ini adalah Direktur Kriminal Khusus Polda NTT, mengatakan, kasus PT Malindo Mitra Perkasa bukanlah kasus TPPO tetapi kasus administrasi. Padahal, Rudy telah mengamankan 52 calon pekerja migran Indonesia ilegal dari penampungan PT Malindo.

Dalam proses pemeriksaan itu, Kombes Pol Moh Slamet perintahkan untuk kembalikan ke PT Malindo dan Rudy pun diproses disiplin.

Tidak terima dizolimi, Rudy lalu melawan dan melaporkan Kombes Moh Slamet ke Komnas HAM, karena menghalangi proses penyelidikan terhadap PT Malindo.

Saat yang bersamaan, Rudy diproses disiplin dan sejumlah kasus pun sengaja dibuat untuk menjatuhkan Rudy, dimana ia dituding memfitnah pimpinan.

Pada bulan November 2015 izin PT Malindo akhirnya dicabut Kementerian Tenaga Kerja (Nomor; 402 tahun 2014 tentang Pencabutan Izin Penempatan Tenaga Kerja Indonesia PT Malindo).

Selanjutnya, pada tahun 2018, Tedy Moa yang merupakan pelaksana perekrutan PT Malindo ditetapkan sebagai tersangka dan diproses hukum inkrah berdasarkan putusan pengadilan Nomor 159/Pid.Sus /2018/PN KUPANG dengan pidana penjara 6 tahun.

Pada tahun yang sama, NTT ditetapkan sebagai provinsi darurat perdagangan orang, dimana Mariance Kabu, salah satu korban perdagangan orang yang masih hidup mengalami cacat parmanen.

Saat ini disidang sebagai korban TPPO di Malaysia, Mariance Kabu salah satu korban yang dikirim PT Malindo di tahun 2014.

Menurut Rudy, kasus TPPO PT Malindo 11 tahun lalu adalah sebuah kebenaran, bahwa kasus yang diselidikinya adalah pidana dan bukan kasus kesalahan administrasi.

“Lalu bagaimana mungkin Kabid Humas Polda NTT mengatakan di media bahwa alasan pemberatan pertama IPDA Rudy Soik dipindahkan ke Daerah Operasi Militer Polda Papua, adalah karena saya melawan pimpinan yang mengatakan di NTT tidak ada perdagangan orang,” tandasnya.

Bongkar Kasus Mafia BBM di NTT, Perwira Polisi Malah Dituduh Karaoke di Jam Dinas dan Kena Demosi ke Papua

Semoga ulasan ini bermanfaat bagi Sobat Zona. Jangan lupa untuk terus mengikuti berita seputar mahasiswa dan dunia perkuliahan, serta aktifkan selalu notifikasinya.

Baca juga: Kim Jong Un Eksekusi 30 Pejabat Korut yang Gagal Atasi Banjir, Dinilai Tidak Becus Kerja

Share:
Tautan berhasil tersalin

Komentar

0

0/150