
Zona Mahasiswa - Fenomena "sound horeg" kembali memicu perdebatan sengit di masyarakat, menyoroti jurang ironi antara pengakuan negara dan penolakan ulama serta keresahan sebagian warga. Kontroversi terbaru muncul setelah ulama di Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, mengeluarkan fatwa haram atas penggunaan "sound horeg". Fatwa ini, yang viral di media sosial, sangat kontras dengan keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Timur yang justru mengesahkan "sound horeg" sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Dilema ini membuka kotak pandora pertanyaan tentang bagaimana sebuah ekspresi budaya, teknologi, atau hiburan dapat menimbulkan interpretasi yang begitu berbeda di antara berbagai pilar masyarakat.
Fatwa Haram dari Ponpes Besuk: Lebih dari Sekadar Kebisingan
Fatwa haram atas "sound horeg" dikeluarkan dalam forum Bahtsul Masail yang digelar bertepatan dengan Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1447 Hijriah, di Ponpes Besuk. Pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhibbul Aman Aly, menegaskan bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata karena tingkat kebisingan suara yang ditimbulkan oleh "sound horeg". Alasan utama di balik fatwa ini adalah konteks dan dampak sosial yang melekat pada praktik "sound horeg" itu sendiri.
Meskipun detail spesifik mengenai "konteks dan dampak sosial" yang dimaksud belum dijelaskan secara menyeluruh dalam rilis informasi ini, dapat diasumsikan bahwa ulama melihat adanya potensi mudarat atau kerugian yang lebih besar daripada manfaatnya. Ini bisa mencakup:
- Gangguan Ketertiban Umum: Meskipun dikesampingkan dalam fatwa sebagai alasan utama, kebisingan ekstrem tetap menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan dalam konteks keresahan masyarakat.
- Aspek Moral dan Sosial: Mungkin ada praktik-praktik yang menyertai penggunaan "sound horeg" (seperti kerumunan besar, suasana yang berpotensi memicu perilaku tidak etis, atau gangguan pada waktu ibadah) yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama dan sosial.
- Pemborosan atau Kemubaziran: Penggunaan sistem suara yang sangat mahal dan bertenaga besar untuk tujuan hiburan semata mungkin juga dilihat sebagai bentuk pemborosan sumber daya.
Fatwa haram ini mencerminkan upaya ulama untuk menjaga kemaslahatan umat dan menuntun masyarakat agar terhindar dari hal-hal yang dianggap merugikan secara spiritual maupun sosial. Keputusan ini, tentu saja, memicu perdebatan di kalangan warganet, khususnya mereka yang menggemari atau mencari nafkah dari "sound horeg".
Kemenkumham: Apresiasi atas Olah Pikir Anak Bangsa
Di sisi lain spektrum, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Jawa Timur memiliki pandangan yang sangat berbeda, bahkan kontras. Pada Selasa, 22 April 2025 lalu, Kemenkumham Jatim justru mengesahkan "sound horeg" sebagai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jatim, Haris Sukamto, saat itu mengatakan bahwa "sound horeg" adalah sebuah nama hasil olah pikir anak bangsa yang juga layak diapresiasi. Pengesahan HAKI ini menunjukkan bahwa secara hukum, "sound horeg" diakui sebagai sebuah inovasi, kreativitas, atau karya intelektual yang memiliki nilai ekonomi dan patut dilindungi.
Keputusan Kemenkumham ini didasarkan pada perspektif hukum yang melihat "sound horeg" sebagai produk kreativitas dan inovasi teknologi dalam bidang audio. Pengakuan HAKI ini memberikan perlindungan hukum bagi pencipta atau pemiliknya, mencegah penggunaan tanpa izin, dan memungkinkan pengembangan komersial lebih lanjut. Bagi Kemenkumham, ini adalah bentuk dukungan terhadap ekonomi kreatif dan inovasi lokal.
Keresahan Masyarakat dan Dilema Kebijakan
Di tengah dua kutub pandangan ini, ada sebagian masyarakat yang merasakan keresahan akibat fenomena "sound horeg". Keresahan ini umumnya berakar pada:
- Tingkat Kebisingan yang Ekstrem: "Sound horeg" dikenal dengan volume suaranya yang sangat tinggi, seringkali melebihi batas toleransi kebisingan yang wajar. Ini dapat mengganggu ketenangan lingkungan, mengganggu waktu istirahat, mengganggu konsentrasi belajar, dan bahkan berpotensi merusak pendengaran jika terpapar terlalu lama.
- Gangguan Lalu Lintas dan Lingkungan: Acara "sound horeg" seringkali melibatkan kerumunan massa dan arak-arakan di jalan, yang dapat menyebabkan kemacetan dan gangguan ketertiban umum. Limbah dan sampah setelah acara juga bisa menjadi masalah lingkungan.
- Persepsi Negatif: Bagi sebagian masyarakat, "sound horeg" diasosiasikan dengan keributan, perilaku ugal-ugalan, atau bahkan praktik-praktik negatif lainnya, yang kemudian membentuk stigma.
Dilema ini menempatkan pemerintah daerah dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, ada pengakuan hukum atas HAKI dan potensi ekonomi kreatif. Di sisi lain, ada tuntutan dari kelompok agama dan keresahan masyarakat terkait dampak sosial dan lingkungan. Pemerintah perlu mencari titik keseimbangan yang adil dan berkelanjutan, yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak tanpa mengorbankan ketertiban umum dan nilai-nilai sosial.
Menuju Solusi Komprehensif: Dialog dan Regulasi
Kontroversi "sound horeg" ini bukan hanya tentang suara keras atau fatwa agama, tetapi tentang bagaimana masyarakat modern menyikapi perkembangan budaya dan teknologi yang berdampak luas. Untuk mengatasi ironi dan konflik pandangan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan dialog multi-pihak dan regulasi yang bijaksana:
- Dialog Antar Pemangku Kepentingan: Penting untuk mempertemukan ulama, seniman/komunitas "sound horeg", pemerintah (baik Kemenkumham maupun pemerintah daerah), serta perwakilan masyarakat yang resah. Dialog ini bertujuan untuk memahami perspektif masing-masing, mencari titik temu, dan merumuskan solusi bersama.
- Regulasi yang Jelas: Pemerintah daerah perlu merumuskan regulasi yang jelas dan tegas mengenai penggunaan "sound horeg", terutama di ruang publik. Ini bisa mencakup batasan volume suara, waktu operasional, lokasi yang diizinkan, serta sanksi bagi pelanggar. Regulasi juga harus mempertimbangkan potensi gangguan dan dampak sosial.
- Edukasi dan Sosialisasi: Edukasi kepada komunitas "sound horeg" tentang pentingnya toleransi, etika dalam berkesenian, dan tanggung jawab sosial. Sebaliknya, masyarakat umum juga perlu diedukasi tentang esensi "sound horeg" sebagai bentuk ekspresi seni atau kreativitas, jika memang demikian.
- Inovasi dan Adaptasi: Komunitas "sound horeg" dapat didorong untuk berinovasi, mungkin dengan mencari cara untuk mengurangi dampak negatif (misalnya, penggunaan teknologi peredam suara, atau penyelenggaraan di lokasi yang tidak mengganggu pemukiman) tanpa mengurangi esensi kreativitas mereka.
- Pendekatan Kesejahteraan Umum: Setiap kebijakan harus berdasarkan prinsip kesejahteraan umum (maslahat) yang lebih luas, sebagaimana yang ditekankan oleh PBNU dalam kasus pertambangan. Artinya, suatu aktivitas dapat diterima jika manfaatnya jauh lebih besar daripada kerugiannya, dan kerugian dapat diminimalisir.
Ironi "sound horeg" adalah cerminan dari dinamika kompleks masyarakat Indonesia yang berusaha menyeimbangkan antara tradisi, agama, modernitas, dan hak-hak individual. Penanganan kasus ini akan menjadi ujian bagi kemampuan kita untuk berdialog, beradaptasi, dan merumuskan kebijakan yang adil dan berkelanjutan bagi semua.
Baca juga: Bejat! Ayah Cabuli Anak Kandungnya 10 Tahun, Ancam Bunuh Cucunya Sendiri
Komentar
0