Zona Mahasiswa - Setelah menjabat sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu'ti mengambil pendekatan hati-hati terkait keberlanjutan Kurikulum Merdeka. Meski sudah diterapkan secara luas, Mu'ti menegaskan bahwa Kurikulum Merdeka masih menyisakan tantangan dalam pelaksanaannya.
Baca juga: Nasib Pilu Supriyani, Guru Honorer yang Ditahan Gegara Mendisiplinkan Anak Polisi yang Nakal
Dia tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan besar soal apakah kurikulum ini akan dilanjutkan atau diganti, mengingat polemik yang masih terjadi di masyarakat.
Kurikulum Merdeka: Awal dan Penerapannya
Kurikulum Merdeka pertama kali diusung oleh mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim, sebagai respons terhadap kebutuhan pendidikan yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan zaman. Kurikulum ini memberikan keleluasaan kepada sekolah dan guru untuk menyesuaikan metode pengajaran dan materi pelajaran sesuai kebutuhan dan kemampuan peserta didik. Dalam teori, ini adalah sebuah inovasi yang bertujuan untuk menanggulangi pendekatan kurikulum yang kaku dan seringkali tidak relevan dengan kebutuhan dunia nyata.
Namun, pelaksanaannya ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Beberapa sekolah yang memiliki fasilitas dan tenaga pendidik yang memadai bisa menjalankan Kurikulum Merdeka dengan baik, sementara sekolah-sekolah di daerah tertinggal atau dengan keterbatasan sumber daya menghadapi berbagai tantangan.
Mu'ti menyadari ketidakmerataan ini. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa penerapan kurikulum yang baik tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang diseragamkan, melainkan harus mencerminkan kondisi riil di lapangan. Artinya, kebijakan pendidikan yang ideal haruslah fleksibel untuk berbagai jenis sekolah di Indonesia yang memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Tidak Terburu-buru Mengambil Keputusan
Dalam acara serah terima jabatan dengan Nadiem Makarim, Abdul Mu'ti menyatakan bahwa ia akan mengkaji ulang Kurikulum Merdeka sebelum memutuskan langkah selanjutnya. Salah satu alasan utama mengapa ia tidak ingin terburu-buru adalah karena adanya polemik di masyarakat tentang apakah kurikulum ini efektif atau tidak.
Menurut Mu'ti, penting bagi pemerintah untuk mendengarkan masukan dari masyarakat dan semua pemangku kepentingan sebelum membuat keputusan besar yang akan berdampak luas pada dunia pendidikan. Kebijakan yang baik, menurutnya, adalah kebijakan yang lahir dari partisipasi aktif masyarakat dan bukan hanya berdasarkan pandangan elit di pemerintahan atau akademisi saja.
"Kami tidak akan buru-buru mengambil kebijakan, apalagi memang ada polemik yang sekarang masih terus terjadi di masyarakat. Kami ingin kebijakan Kemendikdasmen adalah kebijakan yang memang sesuai dengan aspirasi masyarakat," ucap Abdul Mu'ti dalam pernyataannya.
Mengapa Kurikulum Merdeka Menimbulkan Polemik?
Salah satu alasan mengapa Kurikulum Merdeka menimbulkan polemik adalah kesenjangan dalam pelaksanaannya. Meskipun pada prinsipnya kurikulum ini memberikan kebebasan bagi guru dan siswa untuk lebih kreatif dalam proses pembelajaran, kenyataannya tidak semua sekolah memiliki sumber daya yang cukup untuk menerapkannya.
Di sekolah-sekolah yang memiliki akses teknologi dan guru yang siap, Kurikulum Merdeka dapat berjalan dengan baik. Namun, banyak sekolah di daerah yang kekurangan infrastruktur dan belum terbiasa dengan pendekatan pembelajaran yang lebih mandiri ini. Akibatnya, ada gap besar antara sekolah-sekolah unggulan di kota besar dengan sekolah di pedesaan atau daerah terpencil.
Selain itu, banyak guru yang merasa bahwa mereka tidak mendapatkan pelatihan yang cukup untuk mengimplementasikan kurikulum ini. Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk lebih inovatif, tapi tanpa pendampingan yang maksimal, banyak guru yang merasa kesulitan. Hal ini menciptakan perdebatan di kalangan tenaga pendidik tentang apakah kurikulum ini benar-benar tepat untuk diterapkan secara nasional.
Proses Partisipatif dalam Pengambilan Keputusan
Mu'ti menekankan bahwa kebijakan pendidikan tidak bisa dibuat dalam waktu singkat dan harus melibatkan banyak pihak. Dia menilai bahwa proses pengambilan keputusan mengenai nasib Kurikulum Merdeka harus melibatkan masyarakat secara aktif.
Keterlibatan masyarakat yang dimaksud tidak hanya terbatas pada orang tua atau tenaga pendidik, tetapi juga siswa, ahli pendidikan, dan pemerintah daerah. Menurutnya, pandangan masyarakat sangat penting karena mereka adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kebijakan ini.
Selain itu, Mu'ti menyarankan agar ada evaluasi mendalam terhadap hasil penerapan Kurikulum Merdeka sejauh ini. Apakah benar kurikulum ini sudah mampu meningkatkan kualitas pendidikan, atau justru sebaliknya?
"Ini kan masih baru, bahkan penerapannya walau sudah dinyatakan harus diterapkan semua tapi pada praktiknya kan belum semua satuan pendidikan bisa melaksanakan. Jadi kita lihat lah," tambahnya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti Akan Kaji Ulang Kurikulum Merdeka, Dilanjutkan atau Diganti
Masa depan Kurikulum Merdeka saat ini masih dalam proses evaluasi dan pertimbangan oleh Mendikdasmen Abdul Mu'ti. Dengan tidak terburu-buru mengambil keputusan, Mu'ti berusaha memastikan bahwa kebijakan yang diambil nantinya benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat luas. Proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak diharapkan bisa menghasilkan kebijakan yang lebih tepat dan bermanfaat bagi kemajuan pendidikan di Indonesia.
Sebagai mahasiswa, kita juga perlu mengikuti perkembangan ini, karena pendidikan bukan hanya soal kurikulum, tetapi bagaimana kita beradaptasi dan memanfaatkan segala peluang untuk terus belajar dan berkembang. Semoga dengan kebijakan yang tepat, kualitas pendidikan di Indonesia bisa semakin meningkat dan sesuai dengan tantangan global yang terus berkembang.
Komentar
0